TEORI KOMUNIKASI VERBAL DAN NONVERBAL

TEORI KOMUNIKASI VERBAL DAN
NONVERBAL

Pemahaman Mengenai Komunikasi Verbal dan Nonverbal

Komunikasi verbal dan non verbal merupakan dua bentuk dari tindak komunikasi
(communication act) yang tidak dapat dipisahkan. Artinya keduanya saling membutuhkan guna tercapainya komunikasi yang efektif, masing-masing bekerja bersama-sama untuk menciptakan suatu makna. Walaupun keduanya memiliki sifat holistic, namun keberadaannya menurut Don Stack dapat dibedakan menjadi tiga bagian:

1. Kesengajaan (intentionality)
Perbedaan utama antara komunikasi verbal dan non verbal adalah persepsi
mengenai niat (intent). Michael Burgoon dan Michael Ruffner menegaskan bahwa
pesan verbal adalah komunikasi jika dikirimkan dan diterima secara sengaja.
2. Perbedaan-perbedaan simbolik (symbolic differences)
Komunikasi verbal lebih spesifik dari bahasa noverbal, dalam arti, ia dapat
dipakai untuk membedakan hal-hal yang sama dalam sebuah cara yang berubahubah.
Sedangkan bahasa nonverbal lebih mengarah pada reaksi-reaksi alami
seperti perasaan atau emosi.
3. Mekanisme Pemrosesan (processing mechanism)
Semua informasi termasuk komunikasi diproses melalui otak, kemudian otak
menafsirkan informasi lewat pikiran yang berfungsi mengendalikan perilaku2
fisiologis (refleks) dan sosiologi (perilaku yang dipelajari dan perilaku sosial).
Dalam bahasa Malandro dan Barker, ketidaksamaan tsb, yaitu antara struktur dan
nonstruktur, linguistic dan nonlinguistic, sinambung dan tidak sinambung,
dipelajari dan diperoleh secara alamiah serta pemrosesan informasi otak sebelah
kiri dan kanan.
Keberadaan komunikasi verbal dan nonverbal dapat dipahami melalui funsgi-fungsi yang
dilakukan keduanya. Fungsi dari lambang-lambang verbal maupun noverbal adalah
memproduksi makna yang komunikatif. Bahasa nonverbal dipakai untuk mengubah
pesan verbal melalui enam fungsi yaitu:
1. Pengulangan, Paul Ekman menjelaskan, pesan nonverbal akan mengulang atau
meneguhkan pesan verbal. Misal dalam suatu lelang, kita mengacungkan jari
untuk menunjukkan jumlah tawaran.
2. Kontradiksi, pesan nonverbal menegaskan pesan verbal spt dalam sarkasme atau
sindiran-sindiran tajam.
3. Pengganti, kadang komunikasi nonverbal mengganti pesan verbal. Misal, menang
cukup mengacungkan dua jari bentuk “V” untuk victory yang bermakna
kemenangan.
4. Pengaturan, berfungsi mengendalikan sebuah interaksi dalam suatu cara yang
sesuai dan halus, misal anggukan kepala selama percakapan berlangsung.
5. Penekanan, seperti mengacungkan kepalan tangan.
6. Pelengkap, misal tersenyum untuk menunjukkan rasa bahagia.

Dalam perkembangannya sekarang, komunikasi nonverbal dipandang berfungsi sebagai
pesan-pesan yang holistic dimana dia melakukan fungsi supaya orang lain melakukan
sesuatu seperti yang kita perintahkan.
Komunikasi Nonverbal

Menurut Ronald Adler dan George Rodman, komunikasi nonverbal memiliki empat
karakteristik:
1. Keberadaannya; komunikasi nonverbal akan selalu muncul, disadari atau tidak.
2. Kemampuannya menyampaikan pesan tanpa bahasa verbal
3. Sifatnya Ambiguitas yaitu ada banyak kemungkinan penafsiran terhadap setiap
perilaku.
4. Keterikatannya dalan suatu kultur tertentu, maksudnya perilaku yang memiliki
makna khusus dalam satu budaya akan mengekspresikan pesan yang berbeda
dalam ikatan kultur yang lain.

Komunikasi nonverbal adalah beragam cara yang digunakan untuk berkomunikasi secara noverbal yaitu
1. vocalics atau paralanguange (mendesah, menjerit, merintih, menelan, menguap)
2. kinesik yang mencakup gerakan tubuh, lengan dan kaki serta ekspresi wajah,
perilaku mata (keheranan, ketakutan, kemarahan, kebahagiaan, kesedihan,
kebencian, kejijikan)
3. lingkungan yang mencakup objek benda dan artifak,
4. proxemics yang merupakan ruang dan teori pribadi. Edward T. Hall
mendefinisikan empat jarak dalam percakapan:
– Intimate distance, berlangsung dg bisikan atau suara pelan diantara pribadi
yang memiliki emosional sangat akrab.
– Personal distance, komunikasi berlangsung tertutup namun percakapannya
tidak bersifat pribadi.
– Social distance, terjadi dalam situasi bisnis
– Public distance, komunikasi yang terjadi di dalam kelas atau ruang
tertentu.
5. haptics (sentuhan/kontak tubuh)
6. penampilan fisik (tubuh dan cara berpakaian),
7. chronemics (waktu), orang yang tepat atau tidak tepat waktu yang ingin
menunjukkan pesan suka/tidak atas apa yang dilakukannya.
8. olfaction (bau).

Kajian pertama mengenai komunikasi nonverbal ditermukan pada zaman Aristoteles
(400-600 SM). Namun studi ilmiahnya yang berkaitan dengan retorika, baru dilakukan pada zaman Yunani dan Romawi Kuno. Dalam perkembangan berikutnya dikenal tokoh tokoh seperti
• Cicero dengan karyanya PRONUNTIATIO atau cara berpidato
dengan memanfaatkan elemen-elemen nonverbal (public
speaking);
• Joshua Steele dengan studi ttg komunikasi nonverbal pada
suara sebagai suatu instrument yang disebut PROSODY
(bahasa dalam drama atau puisi dapat dibaca hampir spt notasi
musik);
• Gilbert Austin dengan studi tentang gerakan-gerakan badan yang dihubungkan dengan bahasa, yang disebut sebagai ELOCUTIONARY SYSTEM (seni deklamasi).
• Francois Delserte yang menggabungkan suara dan gerakan2
badan sekaligus yang merupakan agents of heart.
Beberapa Pendekatan dalam Teori Komunikasi Nonverbal
Permulaan dari studi komunikasi nonverbal modern seringkali diidentifikasikan dengan
karya Darwin: The Expression of Emotions in Man and Animals.
Teori komunikasi nonverbal kontemporer dapat digolongkan ke dalam tiga pendekatan yaitu:

1. Pendekatan Etologi
Teori ini mendukung asumsi dasar Darwin bahwa komunikasi nonverbal bersifat
universal dan memiliki kesamaan dalam berbagai kultur yang berbeda. Dengan
demikian komunikasi nonverbal merupakan suatu fungsi alamiah. Sebagai
tambahan, dikemukakan pula bahwa ekspresi emosi melalui komunikasi
nonverbal adalah sama antara manusia dan hewan lainnya. Contoh etologis:
senyuman dan ekspresi wajah.
Teori Struktur Kumulatif
Dalam teori ini Ekman dan Friesen memfokuskan analisisnya pada makna yang
diasosiasikan dengan kinesic yang disebut cumulative structure atau meaning
centered karena lebih banyak membahas makna yang berkaitan dengan gerak
tubuh dan ekspresi wajah ketimbang struktur perilaku yang kemudian disebut sbg
expressive behaviour yang terdiri dari lima kategori:
• Emblem: gerakan tubuh atau ekspresi wajah yang memiliki nilai sama
dengan pesan verbal, yang disengaja, dapat berdiri sendiri tanpa bantuan
pesan verbal. Contoh: setuju, pujian, ucapan selamat Jalan yang digantikan
dengan anggukan kepala, acungan jempol dan lambaian tangan.
• Ilustrator: gerakan tubuh/ekspresi wajah yang mendukung dan
melengkapi pesan verbal. Contoh: raut muka serius ketika memberikan
penjelasan utk menunjukkan bhw yang dibicarakan adalah persolan serius,
atau gerakan tangan yang menggambarkan sesuatu yang sedang
dibicarakan.
• Regulator: tindakan yang disengaja yang biasanya digunakan dalam
percakapan, misalnya mengenai giliran berbicara. Contoh: senyuman,
anggukan kepala, tangan yg menunjuk, mengangkat alis, orientasi tubuh.
• Adaptor: tindakan yang disengaja, yang digunakan untuk menyesuaikan
tubuh dan menciptakan kenyamanan bagi tubuh dan emosi. Terdapat dua
sub kategori adaptor, yaitu: SELF (menggaruk kepala, menyentuh
dagu/hidung) dan OBJECT (menggigit pinsil, memainkan kunci). Perilaku
ini biasanya dipandang sbg refleksi kecemasan atau perilaku negative.
• Emosi atau affect display: yang dapat disengaja atau tidak, dapat
menyertai pesan verbal maupun berdiri sendiri yang bentuknya: marah,
menghina, malu, takut, gembira, sedih dan terkejut.Affect display yang
berbeda dapat diungkapkan secara bersamaan disebut Affect Blend.
Teori Tindakan
Morris mengemukakan suatu pandangan kinesic yang lebih didasarkan pada
tindakan dimana perilaku tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan terbagi ke
dalam suatu rangkaian panjang peristiwa yang terpisah-pisah yaitu:
• Inborn (pembawaan): inting yang dimiliki sejak lahir, spt perilaku
menyusu.
• Discovered (ditemukan): diperoleh secara sadar dan terbatas pada struktur
genetic tubuh spt menyilangkan kaki.
• Absorved (diserap): diperoleh secara tidak sadar melalui interaksi dengan
orang lain (teman) spt meniru ekspresi atau gerakan seseorang.
• Trained (dilatih): diperoleh dengan belajar spt berjalan, mengetik, dll.
• Mixed (campuran): diperoleh melalui berbagai macam cara diatas.
2. Pendekatan Antropologis
Pendekatan yang dikemukakan oleh Birdwhistell dan Edward T. Hall ini
menempatkan kultur sebagai bagian penting dalam studi komunikasi nonverbal
dipelajari melalui aturan-aturan sosial yang berbeda antara kultur 1 dengan
lainnya dan subkultur 1 dengan lainnya.
Analogi Linguistik
Menurut Birdwhistell, dalam komunikasi nonverbal terdapat bunyi nonverbal
yang disebut allokines yaitu satuan gerakan tubuh terkecil yang seringkali tidak
dapat terdeteksi, dimana kombinasinya akan membentuk kines dalam suatu
bentuk serupa dengan bahasa verbal yang disebut Analogi Linguistik.
Birdwhistell juga menjelaskan bahwa fenomena parakinesic (yaitu kombinasi
gerakan yang dihubungkan dengan komunikasi verbal) dapat dipelajari melalui
struktur gerakan. Struktur ini mencakup tiga factor: intensitas dari tegangan yang
tampak dari otot, durasi dari gerakan yang tampak, dan luasnya gerakan.
Analogi Kultural
Analogi cultural yang dikemukakan oleh Edward T. Hall membahas komunikasi
nonverbal dari aspek proxemics dan chronemics. Proxemics mengacu kepada
penggunaan ruang sebagai ekpresi spesifik dari kultur yang terdiri dari tiga jenis:
(1) informal space (ruang terdekat yang mengitari kita/personal space), (2) fixedfeature
space (benda di lingkungan kita yang relative sulit bergerak/dipindahkan
spt rumah, tembok, dll) dan (3) semifixed-feature space (barang2 yang dapat
dipindahkan yg berada dalam fixed-feature space).
Chronemics atau waktu menurut Hall, ditemukan dalam berbagai kultur dalam
bentuknya yang berbeda-beda dan memiliki (1) formal time—mencakup susunan
dan siklus, memiliki nilai, memilki durasi dan kedalaman, (2) informal time—
ungkapan: sebentar lagi, nanti atau sekarang, (3) technical time—menggambarkan
penggunaan secara lbh spesifik spt kilometer per jam, tahun matahari atau meter
per detik.
3. Pendekatan Fungsional
Teori ini tidak menaruh perhatian pada apakah penandaan nonverbal merupakan
pembawaan yang bersifat universal dan alamiah, atau diperoleh melalui belajar
dan dipengaruhi oleh spesifikasi cultural. Teori-teori fungsional lebih
menekankan pada fungsi, peran dan hasil yang diperoleh dari penggunaan
perilaku nonverbal dalam situasi komunikasi.
Teori Metaforis dari Mehrabian
Teori Mehrabian menempatkan perilaku nonverbal ke dalam pengelompokkan
fungsi dalam tiga kontinum: (1) dominan submisif (2) menyenangkan tidak
menyenangkan (3) menggairahkan tidak menggairahkan. Tiap kontinum dianalisis
melalui tiga metafora: (1) kekuasan dan status (2) kesukaan (3) tingkat responsif.
Teori Mehrabian dapat diterapkan pada semua komunikasi nonverbal, meskipun
paling sesuai untuk diterapkan pada penandaan kinesic paralanguage, sentuhan
dan jarak/ruang.
Teori Equilibrium
Michael Argyle dan Lanet Dean mengemukakan suatu teori komunikasi
nonverbal yang didasarkan pada suatu metafora keintiman-equilibrium, bahwa
setiap kita berinteraksi, kita mengalami atau menggunakan seluruh saluran
komunikasi yang ada, dan suatu perubahan dalam suatu saluran nonverbal akan
menghasilkan perubahan pada saluran lainnya sebagai kompensasi, misalnya
pendekatan dan penghindaran.
Teori Fungsional dari Patterson
Patterson mengemukakan bahwa komunikasi nonverbal memiliki lima fungsi: (1)
memberikan informasi, (2) mengekspresikan keintiman, (3) mengatur
interaksi/giliran berbicara, (4) melaksanakan control sosial—digunakan ketika
kita mengekspresikan pandangan dan (5) membantu pencapaian tujuan—misalnya
sentuhan.
Teori Fungsional Komunikatif
Teori yang dikemukakan oleh Burgoon ini memfokuskan kepada kegunaan, motif
atau hasil komunikasi, yang bukan sekedar pada apa yang ditampilkan oleh
perilaku nonverbal, tetapi juga pada hubungan antara perilaku tersebut dengan
tujuan-tujuan yang ada dibaliknya.

Teori-teori Komunikasi Verbal
1. Nature Approach (Pendekatan Natural)
Teori Noam Chomsky yang disebut “struktur dalam (deep structure)”
mengasumsikan bahwa suatu tata bahasa atau struktur bawaan (imate grammar)
yang ada pada diri manusia sejak dia lahir, merupakan landasan bagi semua
bahasa. Dengan demikian kemampuan berbahasa merupakan pembawaan yang
bersifat alamiah dan universal. Ada tiga struktur dalam semua bahasa:
• Adanya hubungan antara subjek predikat
• Hubungan antara kata kerja (verb) dengan objek yang mengekspresikan
hubungan logis sebab dan akibat.
• Modifikasi yang menunjukkan adanya pertautan kelas (intersection of classes).
Teori Dan I. Slobin mengemukakan bahwa perkembangan kognitif mendahului
perkembangan bahasa. Menurutnya, ada empat prinsip yang bekerja pada semua
bahasa:
• Memperhatikan susunan kata
• Menghindari pengecualian
• Menghindari interupsi atau penataan kembali unit-unit bahasa
• Memperhatikan kata yang ada pada bagian terakhir kalimat.
2. Nurture Approach (Pendekatan Nurtural)
Edward Sapir dan Benyamin Whorf memusatkan kajiannya pada semantic
(makna dari kata), mrk mengembangkan suatu teori cultural mengenai bahasa.
Kelompok ini menganggap bahwa bahasa diperoleh melalui pembelajaran sosial
dan kultur, bukan merupakan sesuatu yang alamiah atau universal. Sehingga ada
relativitas cultural dalam bahasa, serta kultur harus menjadi pertimbangan penting
dalam studi mengenai bahasa

Teori Komunikasi Organisasi

Teori Komunikasi Organisasi

Kata komunikasi berasal dari bahasa latin “communis” atau “commo” dalam Bahasa Inggris yang berarti sama. Berkomunikasi berarti kita berusaha untuk mencapai kesamaan makna, “commonness”.

Organisasi merupakan suatu kumpulan atau sistem individual yang melalui suatu hierarki/jenjang dan pembagian kerja, berupaya mencapai tujuan yang ditetapkan. Manusia di dalam kehidupannya harus berkomunikasi artinya memerlukan orang lain dan membutuhkan kelompok atau masyarakat untuk saling berinteraksi. Hal ini merupakan suatu hakekat bahwa sebagian besar pribadi manusia terbentuk dari hasil integrasi sosial dengan sesama dalam kelompok dan masyarakat.

Di dalam kelompok/organisasi terdapat bentuk kepemimpinan yang merupakan masalah penting untuk kelangsungan hidup kelompok, yang terdiri dari pemimpin dan bawahan/karyawan. Di antara kedua belah pihak harus ada two-way-communications h atau komunikasi timbal balik, untuk mencapai cita-cita, baik cita-cita pribadi, maupun kelompok, untuk mencapai tujuan suatu organisasi.

Hubungan yang terjadi merupakan suatu proses dari suatu keinginan masing-masing individu untuk memperoleh suatu hasil yang nyata dan dapat memberikan manfaat untuk kehidupan yang berkelanjutan. Kehidupan organisasi tidak mungkin dipisahkan dari komunikasi efektif. Komunikasi efektif tergantung pada kemampuannya menjawab dan mengantisipasi perubahan lingkungan luar organisasi sesuai dengan perkembangan internal organisasi itu sendiri. Di samping itu dalam komunikasi didasari beberapa perspektif dalam pengembangannya sehingga berperanan penting dalam organisasi.

Perspektif dan Peranan Komunikasi Dalam Organisasi serta Teori-teori Organisasi

A. Perspektif yang Mendasari Komunikasi Organisasi

Sejumlah teori komunikasi menggunakan metode dan logika penjelasan yang terdiri dari empat perspektif yang mendasari pengembangan teori dalam ilmu komunikasi. Keempat perspektif itu adalah:
1. Covering Law Theories
Pespektif ini berangkat dari prinsip sebab-akibat atau hubungan kausal. Rumusan umum dari prinsip ini antara lain dicerminkan dalam pernyataan hipotesis. Menurut Dray penjelasan Covering Law Theories didasarkan pada dua asas:

a. Teori berisikan penjelasan yang berdasarkan pada keberlakuan umum/hukum umum.
b. Penjelasan teori berdasarkan analisis keberaturan. Dalam Covering Law Theories terdapat tiga macam penjelasan:
Deductive-Nomological (D-N), penjelasan terbagi atas dua bagian, yaitu objek penjelasan (apa yang dijelaskan) dan subjek penjelasan (apa yang menjelaskan). Contoh semua X . adalah Y. X dan Y bersifat universal. Deductive-Statistical (D-S), berdasarkan prinsip probabililstik dalam ststistik. Formulanya dapat dirumuskan sebagai berikut: P (X,Y)=R, menyatakan R menunjukan bahwa proporsi X bersama Y bisa sama dengan R. Inductive-Statistical (I-S), prisipnya sama dengan D-S, bedanya subjek penjelasan dijadikan pendukung induktif untuk menerangkan objek penjelasan. Contoh; P (T,R) = 0,90. Prinsip Covering Laws ini pada dasarnya memiliki keterbatasan:
a. Keberlakuan prinsip universalitas bersifat relatif.
b. Formula statistik Covering Law Theories sulit diterapkan dalam mengamatia tingkah laku manusia. Karena pada dasarnya tingkah laku manusia suka berubah dan sulit diterka.
c. Manusia dalam kehidupannya juga terikat pada ikatan budaya tertentu.
d. Kehidupan manusia penuh keragaman dan kompleks.
e. Terlalu berdasar pada hitungan statistik yang belum tentu sesuai dengan realitas.

2. Rule Theories

Pemikiran perspektif ini berdasarkan pada prinsip praktis bahwa manusia aktif memilih dan mengubah aturan-aturan yang menyangkut kehidupannya. Agar komunikasi dapat berlangsung dengan baik individu-individu yang berinteraksi harus menggunakan aturan-aturan dalam menggunakan lambang-lambang. Bukan hanya aturan mengenai lambang itu sendiri, tetapi juga harus ada aturan atau kesepakatan dalam hal giliran berbicara, bagaimana bersikap sopan santun atau sebaliknya, bagaimana harus menyapa, dan sebagainya, agar tidak terjadi konflik atau kekacauan.

Perspektif ini memiliki dua ciri utama:
a. Aturan pada dasarnya merefleksikan fungsi-fungsi perilaku dan kognitif yang kompleks dari kehidupan manusia.
b. Aturan menunjukan sifat-sifat dari keberaturan yang berbeda dari keberaturan sebab akibat. Para ahli penganut aliran evolusi mengemukakan bahwa dalam mengamati tingkah laku manusia, perspektif ini menunjuk tujuh kelompok di mana masing-masing mempunyai penekanan yang berbeda dalam pengamatannya.
Memfokuskan perhatiannya pada pengamatan tingkah laku sebagai aturan. mengamati tingkah laku yang menjadi kebiasaan. menitikberatkan perhatiannya pada aturan-aturan yang menentukan tingkah laku. mengamati aturan-aturan yang menyesuaikan diri dengan tingkah laku. memfokuskan pengamatannya pada aturan-aturan yang mengikuti tingkahlaku. mengikuti aturan-aturan yang menerapkan tingkah laku memfokuskan perhatiannya pada tingkah laku yang merefleksikan aturan.
Dalam konteks komunikasi antarpribadi, pemikiran perspektif ini menekankan bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil atau refleksi dari penerapan aturan yang disepakati bersama. Dalam hal ini ada empat proposisi yang diajukan:
a. Tindakan-tindakan yang bersifat gabungan, kombinasi dan asosiasi merupakan ciri-ciri perilaku manusia.
b. Tindakan-tindakan di atas disampaikan melalui pertukaran informasi simbolis.
c. Penyampaian informasi simbolis menuntut adanya interaksi antarsumber, pesan, dan penerima yang sesuai dengan aturan komunikasi yang disepakati.
d. Aturan-aturan komunikasi ini mencakup pola-pola umum dan khusus.

3. System Theories
Secara umum sistem mempunyai empat ciri:
a. Sistem adalah suatu keseluruhan yang terdiri dari elemen- elemen yang masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri.
b. Sistem berada secara tetap dalam lingkungan yang berubah.
c. Sistem hadir sebagai reaksi atas lingkungan.
d. Sistem merupakan koordinasi dari hirarki.

Ada banyak jenis sistem, tetapi yang sering terkait dengan teori komunikasi adalah sistem terbuka dan structural-functional. Sistem terbuka (open Fungsi darisistem) ditandai dengan: Unsur-unsur yang ada dalam sistem Lingkungan Hubungan antara unsur dalam sistemmasing-masing sistem Komunikasi organisasi banyaksosial budaya di mana sistem berada. dipengaruhi oleh logika berpikir sistem, di mana komunikasi organisasi berhubungan dengan komunikasi interpersonal dalam oranisasi yang di dalamnya terdapat hierarki.

4. Symbolic Interactionisme
Perspektif ini berkembang dari sosiologi. Menurut Jarome Manis dan Bernard Meletzer terdapat tujuh proposisi umum yang mendasarinya:
a. Tingkah laku manusia dan interaksi antarmanusia dilakukan melalui perantaraan lambang-lambang yang mengandung arti.
b. Orang menjadi menusiawi setelah berinteraksi dengan orang-orang lain.
c. Masyarakat merupakan himpunan dari orang-orang yang berinteraksi.
d. Manusia secara sukarela aktif membentuk tingkah lakunya sendiri.
e. Kesadaran dan proses berpikir seseorang melibatkan proses interaksi dalam dirinya.
f. Bahwa manusia membangun tingkah lakunya dalam melakukan tindakan-tindakannya. g. Untuk memahami tingkah laku manusia diperlukan penelaahan tentang tingkah laku perbuatan tersembunyi (Sendjaja, 2005).

B. Peranan Komunikasi Dalam Organisasi

Dalam suatu organisasi baik yang berorientasi komersial maupun sosial, tindak komunikasi dalam organisasi atau lembaga tersebut akan melibatkan empat fungsi/peranan, yaitu:

1. Fungsi Informatif

Organisasi dapat dipandang sebagai suatu sistem pemrosesan informasi (information-processing system). Maksudnya, seluruh anggota dalam suatu organisasi berharap dapat memperoleh informasi yang lebih banyak, lebih baik dan tepat waktu. Informasi yang didapat memungkinkan setiap anggota organisasi dapat melaksanakan pekerjaannya secara lebih pasti informasi pada dasarnya dibutuhkan oleh semua orang yang mempunyai perbedaan kedudukan dalam suatu organisasi. Orang-orang dalam tataran manajemen membutuhkan informasi untuk membuat suatu kebijakan organisasi ataupun guna mengatasi konflik yang terjadi di dalam organisasi. Sedangkan karyawan (bawahan) membutuhkan informasi tentang jaminan keamanan, jaminan sosial dan kesehatan, izin cuti dan sebagainya.

2. Fungsi Regulatif

Fungsi regulatif ini berkaitan dengan peraturan-peraturan yang berlaku dalam suatu organisasi. Pada semua lembaga atau organisasi, ada dua hal yang berpengaruh terhadap fungsi regulatif ini, yaitu:
a. Atasan atau orang-orang yang berada dalam tataran manajemen yaitu mereka yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan semua informasi yang disampaikan. Disamping itu mereka juga mempunyai kewenangan untuk memberikan instruksi atau perintah, sehingga dalam struktur organisasi kemungkinan mereka ditempatkan pada lapis atas (position of authority) supaya perintah-perintahnya dilaksanakan sebagaimana semestinya. Namun demikian, sikap bawahan untuk menjalankan perintah banyak bergantung pada: Keabsahan pimpinan dalam penyampaikan perintah Kekuatan pimpinan dalam memberi sanksi Kepercayaan bawahan terhadap atasan sebagai seorang pemimpin sekaligus sebagai pribadi Tingkat kredibilitas pesan yang diterima bawahan.
b. Berkaitan dengan pesan atau message. Pesan-pesan regulatif pada dasarnya berorientasi pada kerja. Artinya, bawahan membutuhkan kepastian peraturan-peraturan tentang pekerjaan yang boleh dan tidak boleh untuk dilaksanakan.

3. Fungsi Persuasif

Dalam mengatur suatu organisasi, kekuasaan dan kewenangan tidak akan selalu membawa hasil sesuai dengan yang diharapkan. Adanya kenyataan ini, maka banyak pimpinan yang lebih suka untuk mempersuasi bawahannya daripada memberi perintah. Sebab pekerjaan yang dilakukan secara sukarela oleh karyawan akan menghasilkan kepedulian yang lebih besar dibanding kalau pimpinan sering memperlihatkan kekuasaan dan kewenangannya

4. Fungsi Integratif

Setiap organisasi berusaha menyediakan saluran yang memungkinkan karyawan dapat dilaksanakan tugas dan pekerjaan dengan baik. Ada dua saluran komunikasi formal seperti penerbitan khusus dalam organisasi tersebut (newsletter, buletin) dan laporan kemajuan oraganisasi; juga saluran komunikasi informal seperti perbincangan antarpribadi selama masa istirahat kerja, pertandingan olahraga ataupun kegiatan darmawisata. Pelaksanaan aktivitas ini akan menumbuhkan keinginan untuk berpartisipasi yang lebih besar dalam diri karyawan terhadap organisasi (Mulyana, 2008).

B. Teori-teoriOrganisasi

1. Teori organisasi klasik

Konsep tentang organisasi telah berkembang mulai 1880-an dan dikenal sebagai teori klasik (classical theory). Dampak teori ini terhadap organisasi masih sangat besar. Sebagai contoh organissi yg didasarkan birokrasi dan banyak bagian dari teori klasik Menurut teori organisasi klasik, rasionalitas, efisiensi, dan keuntungan ekonomis merupakan tujuan organisasi. Teori ini juga menyatakan bahwa manusia diasumsikan bertindak rasional sehingga secara rasional dengan menaikkan upah, produktivitas akan meningkat.

Max Weber dengan konsep birokrasi idealnya menekankan pada konsep otoritas dan kekuasaan yang sah untuk melakukan kontrol kepada pihak lain yang berada di bawahnya sehingga organisasi akan terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakefisienan. Frederick Taylor mengajukan konsep “manajemen ilmiah” yang inti gagasannya adalah “bagaimana cara terbaik untuk melakukan pekerjaan”. Untuk ini Taylor membuat standardisasi mulai dari seleksi (rekruitmen) dan penempatan yang menurutnya merupakan sistem hubungan kerja antara manusia dengan mesin sehingga pekerjaan dapat dianalisis secara ilmiah.

Henry Fayol mengembangkan teori yang memusatkan perhatiannya pada pemecahan masalah-masalah fungsional kegiatan administrasi. Fayol mengajukan konsep planning, organizing, command, coordination, dan control yang menjadi landasan bagi fungsi dasar manajemen. Fayol juga mengemukakan empat belas prinsip yang sangat fleksibel yang digunakan sebagai dasar bagi manajer dalam mengelola organisasi. Keempat belas prinsip itu adalah pembagian kerja, wewenang dan tanggung jawab, disiplin, kesatuan perintah, kesatuan arah, mengutamakan kepentingan umum, pemberian upah, sentralisasi, rantai perintah, ketertiban, keadilan, kestabilan masa kerja, inisiatif, dan semangat korps. Gagasan Fayol sendiri didukung oleh koleganya di AS yaitu Gulick, Urwick, Mooney dan Reiley.

Menurut James D. Mooney terdapat empat prinsip dasar untuk merancang organisasi, yaitu :
a. Koordinasi, yang meliputi wewenang, saling melayani, serta perumusan tujuan dan disiplin
b. Prinsip skalar, meliputi prinsip, prospek, dan pengaruh sendiri, tercermin dari kepemimpinan, delegasi dan definisi fungsional
c. Prinsip fungsional, yaitu funsionalisme tugas yang berbeda
d. Prinsip staf, yaitu kejelasan perbedaan antara staf dan lini Meskipun mendapat banyak kritik yang menganggap bahwa teori-teori klasik itu telah mengabaikan faktor humanistik, deterministik, dan tertutup, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa teori klasik merupakan peletak dasar dari teori-teori organisasi modern.

2. Teori tradisional (teori peralihan)
Teori tradisional muncul sebagai reaksi atas konsep-konsep yang dikemukakan oleh para ahli teori klasik meskipun tidak sepenuhnya mengabaikan prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh teori klasik. Pendekatan yang dilakukan oleh ahli teori ini adalah pendekatan perilaku atau bahavioral approach (human relation approach). Pendekatan ini dilakukan dengan mengadakan eksperimen yang dikenal dengan Hawthorne Experiment yang secara garis besar dibagi dalam 4 tahap.
a. Mengkaji efek lingkungan dari produktivitas pekerja
b. Melakukan konsultasi dengan pekerja yang ikut eksperimen
c. Melakukan wawancara dengan pekerja (yang tidak ikut eksperimen) melalui pertanyaan terbuka
d. Eksperimen yang dikenal dengan bank – wiring – room experiment.

Hasil eksperimen tersebut adalah :
a. Sistem sosial para pekerja ikut berperan dalam organisasi formal
b. Imbalan nonfinansial dan sanksi berperan dalam mengarahkan perilaku pegawai
c. Kelompok ikut berperan dalam menentukan kinerja dan sikap anggota kelompok
d. Munculnya pola kepemimpinan informal
e. Komunikasi yang makin intensif
f. Kepuasan dan kenyamanan bekerja meningkat
g. Pihak manajemen dituntut untuk lebih memahami situasi sosial.

Experiment Hawthorne menjadi pemicu munculnya beberapa pemikiran baru (yang masih dalam kerangka humanistik). Termasuk munculnya teori sistem yang melihat organisasi sebagai suatu sistem yang memiliki
a. Subsistem teknis
b. Subsistem sosial
c. Subsistem kekuasaan.
Kemudian juga muncul teori kontingensi yang dibangun atas dasar prinsip-prinsip yang telah dikembangkan oleh pendekatan sistem. Teori kontingensi ini pada prinsipnya melihat bahwa organisasi harus berlandaskan pada sistem yang terbuka (open system concept)

3. Teori mutakhir

Teori mutakhir atau modern merupakan pengembangan aliran hubungan manusiawi sekaligus sebagai pandangan baru tentang perilaku manusia dan sistem sosial. Dalam teori ini konsep manusia yang mewujudkan diri (motivasi manusia) sangat penting bagi manajemen organisasi.
Terdapat empat prinsip dasar perilaku organisasi, yaitu :
a. Manajemen tidak dapat dipandang sebagai proses teknik secara ketat (peranan, prosedur, dan prinsip)
b. Manajemen harus sistematis dan pendekatan yang digunakan dengan pertimbangan secara hati-hati
c. Organisasi sebagai suatu keseluruhan dan pendekatan manajer individual dalam pengawasan harus sesuai dengansituasi
d. Pendekatan motivasional yang menghasilkan komitmen pekerja terhadap tujuan organisasi sangat perlu. Berdasarkan berbagai teori yang dikemukakan, baik teori klasik, teori tradisional, maupun teori mutakhir mengindikasikan bahwa kinerja lembaga atau organisasi sangat ditentukan oleh sistem komunikasi yang diterapkan, baik menyangkut praktik komunikasi, pola pendekatan, media komunikasi, maupun ketersediaan sarana umpan balik.

Variabel-variabel tersebut akan menentukan produktivitas kinerja lembaga. Demikian pula dalam praktiknya, kegiatan komunikasi hendaknya memperhatikan beragam bentuk komunikasi, seperti komunikasi ke bawah, komunikasi ke atas, komunikasi horizontal, komunikasi lintas saluran dan komunikasi informal. Semakin kreatif dan variatif organisasi itu menggunakan bentuk komunikasi, maka akan semakin tinggi tingkat produktivitas kinerja lembaga tersebut.

Teori Komunikasi Massa

Pendahuluan
Era globalisasi mempengaruhi kompleksitas sistem sosial budaya masyarakat. Perkembangan media massa semakin pesat ketika terjadi perubahan dramatis dalam teknologi komunikasi. Pesatnya kemajuan sistem teknologi informasi, telah memberikan dampak negatif maupun positif terhadap perubahan global dan signifikan bagi pola hidup masyarakat. Komunikasi massa merupakan komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak maupun elektronik yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang melembagakan dan ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar dibanyak tempat , anonim dan heterogen. Laju perkembangan komunikasi massa begitu cepat dan memiliki bobot nilai tersendiri pada setiap sisi kehidupan sosial budaya yang sarat dengan perubahan perilaku masyarakat. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasipun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. “ Budaya adalah komunikasi” dan “ Komunikasi adalah budaya “.
Demikian juga perkembangan dampak dan efek media menjadi sangat penting dalam kehidupan sosial budaya dan perilaku di masyarakat. Kompleksitas sistem sosial budaya masyarakat mempengaruhi sistem budaya informasi dan komunikasi yang semakin harus bisa mengikuti perkembangan dinamika masyarakat. Media komunikasi massa telah memainkan peran yang cukup besar dalam perubahan budaya dan perilaku masyarakat indonesia pada umumnya.

Pengertian Komunikasi

• Etimologi :
Komunikasi berasal dari kata communication (Inggris) atau communicatio (Latin) yang berasal dari kata communis yang artinya sama makna.
• Terminologi :
Carl I Hovland: Ilmu komunikasi adalah “upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta bentukan pendapan dan sikap”. Menurutnya: “komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain”.
“Komunikasi ialah proses melalui mana berbagai individu – dalam hubungan, kelompok, organisasi, dan masyarakat—menanggapi dan menciptakan pesan-pesan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan individu lainnya”.
Dalam proses komunikasi dapat dibedakan menjadi dua, antara lain ;
• Komunikasi secara primer :
Proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media. Mis: bahasa, kial/gestur, isyarat, gambar, warna, dll yang secara langsung dapat menterjemahkan perasaan komunikator kepada komunikan. (Langsung/tatap muka)
• Komunikasi secara sekunder :
Proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Mis: surat, telepon, faks, surat kabar, majalah, tabloid, televisi, film, sms, email, webcam, blog, fs/fb, dll (Media massa. Nirmassa, nonmassmedia)
Komunikasi Massa
Komunikasi yang melibatkan pelaku yang berjumlah relatif besar (Brent & Ruben, 1998; McQuail, 2000) à Komunikasi + Massa. Namun paling tidak ada beberapa tinjauan untuk melihat istilah ini (Brent & Ruben, 1998; McQuail, 2000) à melibatkan massa:
a. Aspek produksi pesan
b. Aspek distribusi pesan
c. Aspek penggunaan media
d. Aspek penerimaan pesan
Definisi lain yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner, yakni komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang ( mass communication is message communicated through a mass medium to a large number of people ). Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa komunikasi massa itu harus menggunakan media massa. Jadi, sekalipun komunikasi itu disampaikan kepada khalayak yang banyak, bertempat tinggal yang jauh ( terpencar ), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu, seperti rapat akbar dilapangan luas yang dihadiri oleh ribuan, bahkan puluhan ribu orang, jika tidak menggunakan media massa, maka itu bukan komunikasi massa. Media komunikasi massa adalah radio siaran dan televisi – keduanya disebut dengan media elektronik; surat kabar atau majalah dikenal sebgai media cetak; serta media film.
Hubungan Ilmu Komunikasi dan Kajian Komunikasi Massa
• Mass communication hanyalah salah satu topik diantara ilmu-ilmu sosial, dan hanya satu bagian dari pembahasan mengenai human communication. Mass communication ialah proses transmisi pesan melalui media massa kepada audiens dengan harapan menimbulkan efek/pengaruh tertentu.
• Berger dan Chaffee (1987:17): ilmu komunikasi ialah ilmu yang berusaha untuk memahami produksi, proses, pengaruh simbol dan sistem tanda dengan cara melakukan pengujian terhadap teori-teori itu.
Pengaruh Komunikasi Massa terhadap individu dapat dikategorikan ;
 Studi tentang komunikasi massa pada umumnya membahas tentang efek.
 Dua Aliran menyangkut komunikasi massa:
1. Aliran pertama, beranggapan bahwa media massa memiliki efek yang langsung
dapat mempengaruhi individu sebagai audience.
2. Aliran kedua, beranggapan bahwa proses pengaruh dari media massa tidak terjadi secara langsung, melainkan melalui perantaraan hubungan komunikasi antarpribadi.

Karakteristik Komunikasi Massa
Onong Effendi (1993 : 81) mengemukakan Karakteristik Komunikasi Massa adalah :
a. Komunikasi massa bersifat umum; pesan komunikasi yang disampaikan melalui media massa adalah terbuka untuk semua orang.

b. Komunikan bersifat heterogen; sejumlah orang yang disatukan oleh suatu minat yang sama yang mempunyai bentuk tingkah laku yang sama dan terbuka bagi pengaktifan tujuan yang sama; meskipun orang-orang tersebut tidak saling mengenal, berinteraksi secara terbatas, dan tidak terorganisasikan.

c. Media massa menimbulkan keserempakan; keserempakan kontak dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak yang jauh dari komuniukator, dan penduduk tersebut satu sama lainnya berada dalam keadaan terpisah.

d. Hubungan komunikator-komunikan bersifat non pribadi; komunikan yang anonim dicapai oleh orang-orang yang dikenal hanya dalam perananya yang bersifat umum sebagai komunikator. Komunikasi dengan menggunakan media massa ini berlaku dalam satu arah (one way communication).

Teori dan Model Komunikasi Massa

Teori Jarum Hipodermik (Hypodermic Needle Model) dari Elihu Katz.
Teori ini berkembang di sekitar tahun 1930 hingga 1940an. Dan ini merupakan teori media massa pertama yang ada. Teori ini mengasumsikan bahwa komunikator yakni media massa digambarkan lebih pintar dan juga lebih segalanya dari audience.
Teori ini memiliki banyak istilah lain. Biasa kita sebut Hypodermic needle ( teori jarum suntik ), Bullet Theory ( teori peluru ) transmition belt theory ( teori sabuk transmisi ). Dari beberapa istilah lain dari teori ini dapat kita tarik satu makna , yakni penyampaian pesannya hanya satu arah dan juga mempunyai efek yang sangat kuat terhadap komunikan. Prinsip stimulus-respons telah memberikan inspirasi pada teori jarum hipodermik. Suatu teori klasik mengenai proses terjadinya efek media massa yang sangat berpengaruh.
Teori ini muncul pada 1950an oleh Wilbur Schram, kemudian dicabut kembali pada tahun 1970an karena khalayak sasaran media massa ternyata tidak pasif. Hal ini didukung oleh Lazarsfeld dan Raymond Bauer. Lazarsfeld mengatakan bahwa khalayak yang diterpa peluru tidak jatuh terjerembab (peluru tidak menembus, efek tidak seuai dengan tujuan pnembak, sasaran senang ditembak). Sedangkan Bauer menyatakan bahwa khalayak sebenarnya tidak pasif (mencari yang diinginkan dari media massa). Pada tahun 1960an, muncul teory limited effect model oleh Hovland. Dia menyatakan bahwa pesan komunikasi efektif dalam menyebarkan informasi, bukan untuk mengubah perilaku. Coooper dan Jahoda menunjukan bahwa persepsi selektif mengurangi efektivitas suatu pesan.
Jarum Hipodermik pada hakekatnya adalah model komunikasi searah, berdasarkan anggapan bahwa mass media memiliki pengaruh langsung, segera dan sangat menentukan terhadap audience. Mass media merupakan gambaran dari jarum raksasa yang menyuntik audience yang pasif. Pada umumnya khalayak dianggap hanya sekumpulan orang yang homogen danmudah dipengaruhi. Sehingga, pesan-pesan yang disampaikan pada mereka akan selalu diterima, bahwa media secara langsung dan cepat memiliki efek yang kuat tehadap komunikan.

Dari beberapa sumber teori ini bermakna :
• Memprediksikan dampak pesan pesan komunikasi massa yang kuat dan kurang lebih universal pada semua audience ( Severin, Werner J.2005: 314
• Disini dapat dimaknai bahwa peran media massa di waktunya ( sekitar tahun 1930an ) sangat kuat sehingga audience benar mengikuti apa yang ada dalam media massa. Selain itu teori ini juga di maknai dalam teori peluru karena apa yang di sampaikan oleh media langsung sampai terhadap audience. ( Nurudin . 2007 : 165
• Kekuatan media yang begitu dahsyat hingga bisa memegang kendali pikiran khalayak yang pasif dan tak berdaya.
Dari sini kita ketahui bahwa teori peluru adalah :
Sebuah teori media yang memiliki dampak yang kuat terhadap audiencenya sehingga tak jarang menimbulkan sebuah budaya baru dan penyaampaiannya secara langsung dari komunikator yakni media kepada komunikan ( audience ).

Dari uraian tersebut diatas, dapat diambil contoh pada iklan air mineral yang bermerek Aqua. Dimana pada saat produk air mineral ini dipublikasikan, secara langsung bisa mempengaruhi asumsi khalayak bahwasanya air mineral itu adalah aqua. Sehingga sampai saat ini aqua sudah terdoktrin di ingatan khalayak. Walaupun sudah banyak merek-merek air mineral yang bermunculan.

Kelemahan dan kekuatan Teori Jarum Hipodermik
Pada dasarnya setiap theory memmpunyai kekuatan dan juga kelemahan. Dan tentunya beberapa teori tersebut hanya bisa berkembang di masanya dan juga mengalami penyempurnaan seperti teori ini yang juga terus mengalami perkembangan.
Kekuatan teori jarum suntik :
• media memiliki peranan yang kuat dan dapat mempengaruhi afektif, kognisi dan behaviour dari audiencenya.
• Pemerintah dalam hal ini penguasa dapat memanfaatkan media untuk kepentingan birokrasi ( negara otoriter )
• Audience dapat lebih mudah di pengaruhi.
• Pesanya lebih mudah dipahami.
Sedikit kontrol karena masyarakat masih dalam kondisi homogen.
Kelemahan teori jarum suntik :
• Keberadaan masyarakat yang tak lagi homogen dapat mengikis teori ini
tingkat pendidikan masyarakat yang semakin meningkat.
• Meningkatnya jumlah media massa sehingga masyarakat menentukan pilihan yang menarik bagi dirinya.
• Adanya peran kelompok yang juga menjadi dasar audience untuk menerima pesan dari media tersebut.

Teori Kultivasi
Gagasan tentang cultivation theory atau teori kultivasi untuk pertama kalinya dikemukakan oleh George Gerbner bersama dengan rekan-rekannya di Annenberg School of Communication di Universitas Pannsylvania tahun 1969 dalam sebuah artikel berjudul the televition World of Violence. Artikel tersebut merupakan tulisan dalam buku bertajuk Mass Media and Violence yang disunting D. Lange, R. Baker dan S. Ball (eds).
Awalnya, Gerbner melakukan penelitian tentang “Indikator Budaya” dipertengahan tahun 60-an untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Dengan kata lain, Gerbner ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton televisi itu? Itu juga bisa dikatakan bahwa penelitian kultivasi yang dilakukannya lebih menekankan pada “dampak” (Nurudin, 2004: 157). Menurut Wood (2000) kata ‘cultivation’ sendiri merujuk pada proses kumulatif dimana televisi menanamkan suatu keyakinan tentang realitas sosial kepada khalayaknya.
Teori kultivasi muncul dalam situasi ketika terjadi perdebatan antara kelompok ilmuwan komunikasi yang meyakini efek sangat kuat media massa (powerfull effects model) dengan kelompok yang mempercayai keterbatasan efek media (limited effects model), dan juga perdebatan antara kelompok yang menganggap efek media massa bersifat langsung dengan kelompok efek media massa bersifat tidak langsung atau kumulatif. Teori kultivasi muncul untuk meneguhkan keyakinan orang, bahwa efek media massa lebih besifat kumulatif dan lebih berdampak pada tataran sosial-budaya ketimbang individual.
Menurut Signorielli dan Morgan (1990 dalam Griffin, 2004) analisis kultivasi merupakan tahap lanjutan dari paradigma penelitian tentang efek media, yang sebelumnya dilakukan oleh George Gerbner yaitu ‘cultural indicator’ yang menyelidiki: a) proses institusional dalam produksi isi media, b) image (kesan) isi media, dan c) hubungan antara terpaan pesan televisi dengan keyakinan dan perilaku khalayak.
Teori kultivasi ini di awal perkembangannya lebih memfokuskan kajiannya pada studi televisi dan audience, khususnya pada tema-tema kekerasan di televisi. Tetapi dalam perkembangannya, ia juga bisa digunakan untuk kajian di luar tema kekerasan. Misalnya, seorang mahasiswa Amerika di sebuah universitas pernah mengadakan pengamatan tentang para pecandu opera sabun (heavy soap opera). Mereka, lebih memungkinkan melakukan affairs (menyeleweng), bercerai dan menggugurkan kandungan dari pada mereka yang bukan termasuk kecanduan opera sabun (Dominick, 1990).
Gerbner bersama beberapa rekannya kemudian melanjutkan penelitian media massa tersebut dengan memfokuskan pada dampak media massa dalam kehidupan sehari-hari melalui Cultivation Analysis. Dari analisis tersebut diperoleh berbagai temuan yang menarik dan orisional yang kemudian banyak mengubah keyakinan orang tentang relasi antara televisi dan khalayaknya berikut berbagai efek yang menyertainya. Karena konteks penelitian ini dilakukan dalam kaitan merebaknya acara kekerasan di televisi dan meningkatnya angka kejahatan di masyarakat, maka temuan penelitian ini lebih terkait efek kekerasan di media televisi terhadap persepsi khalayaknya tentang dunia tempat mereka tinggal.
Salah satu temuan terpenting adalah bahwa penonton televisi dalam kategori berat (heavy viewers) mengembangkan keyakinan yang berlebihan tentang dunia sebagai tempat yang berbahaya dan menakutkan. Sementara kekerasan yang mereka saksikan ditelevisi menanamkan ketakutan sosial (sosial paranoia) yang membangkitkan pandangan bahwa lingkungan mereka tidak aman dan tidak ada orang yang dapat dipercaya. Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media pun kemudian memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai tersebut antar anggota masyarakat, kemudian mengiktannya bersama-sama pula. Media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton itu menyakininya. Jadi, para pecandu televisi itu akan punya kecenderungan sikap yang sama satu sama lain.

George Gerbner “the television Word of Violence”.
Asumsi Teori:
 Televisi merupakan media yang unik
 Semakin banyak seseorang menghabiskan waktu untuk menonton televisi, semakin kuat kecenderungan orang menyamakan realitas televisi dengan realitas sosial.
 Light viewers (penonton ringan) cenderung menggunakan jenis media dan sumber informasi yang lebih bervariasi. Sementara Heavy viewers (penonton berat) cenderung mengandalkan televisi sebagai sumber informasi mereka.
 Terpaan pesan televisi yang terus menerus menyebabkan pesan tersebut diterima khalayak sebagai pandangan konsensus masyarakat.
 Televisi membentuk mainstreaming (kemampuan memantapkan dan menyeragamkan berbagai pandangan di masyarakat tentang dunia di sekitar mereka) dan resonance (pengaruh pesan media dalam persepsi realita dikuatkan ketika apa yang dilihat orang di televisi adalah apa yang mereka lihat dalam kehidupan nyata.
 Perkembangan teknologi baru memperkuat pengaruh televisi.

Para pecandu berat televisi (heavy viewers) akan menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia senyatanya. Misalnya, tentang perilaku kekerasan yang terjadi di masyarakat. Para pecandu berat televisi akan mengatakan sebab utama munculnya kekerasan karena masalah sosial (karena televisi yang ditonton sering menyuguhkan berita dan kejadian dengan motif sosial sebagai alasan melakukan kekerasan). Pada hal bisa jadi sebab utama itu lebih karena keterkejutan budaya (cultural shock) dari tradisional ke kehidupan modern. Teori kultivasi berpendapat bahwa pecandu berat televisi membentuk suatu realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan.
Termasuk di sini konflik antara orang tua dan anak. Kognisi penonton akan mengatakan saat ini semua anak memberontak kepada orang tua tentang perbedaan antara keduannya, seperti “orang tua kuno, ketinggalan zaman.” Mereka yakin bahwa televisi adalah potret sesungguhnya dunia nyata. Padahal seperti yang bisa dilihat, tidak sedikit anak-anak yang masih hormat atau bahkan masih mengiyakan apa yang dikatakan orang tua mereka.
Pada kateori aplikasi teori kultivasi dalam kaca mata kekerasan, Gerbner juga berpendapat bahwa gambaran tentang adegan kekerasan di televisi lebih merupakan pesan simbolik tentang hukum dan aturan, alih-alih perilaku kekerasan yang diperlihatkan di televisi merupakan refleksi kejadian di sekitar kita. Jika adegan kekerasan itu merefleksikan aturan hukum yang tidak bisa mengatasi situasi, seperti yang digambarkan dalam adegan televisi, bisa jadi yang terjadi sebenarnya juga demikian. Jadi, kekerasan yang ditayangkan di televisi dianggap sebagai kekerasan yang memang sedang terjadi di dunia ini. Aturan hukum yang biasa digunakan untuk mengatasi perilaku kejahatan yang dipertontonkan di televisi akan dikatakan bahwa seperti itulah hukum kita sekarang ini.
Jika kita menonton acara seperti Buser (SCTV), Patroli (Indosiar), Sergap (RCTI), Brutal (Lativi) dan TKP malam (TV7), akan terlihat beberapa perilaku kejahatan yang dilakukan masyarakat. Dalam acara tersebut tidak sedikit kejahatan yang bisa diungkap. Dalam pandangan kultivasi dikatakan adegan kekerasaan yang disajikan oleh televisi tersebut menggambarkan dunia kita yang sebenarnya. Para pecandu berat televisi akan beranggapan bahwa harus hati-hati keluar rumah karena kejahatan sudah mengincar kita, dan setiap orang tidak bisa dipercaya, boleh jadi kita akan menjadi korban selanjutnya dari kejahatan. Apa yang ditayangkan televisi tersebut dianggap bahwa di Indonesia kejahatan itu sudah sedemikian mewabah dan kuantitasnya semakin meningkat dari waktu ke waktu. Ini menggambarkan bagaimana dunia kejahatan yang ada di Indonesia.
Contoh lain sinetron yang lagi merebak sekarang di berbagai stasiun televisi kita, antara lain sinetron Rahasia ilahi yang hampir ditanyangkan oleh semua televisi swasta. Para pecandu berat televisi (heavy viewers) akan menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia realitas. Mereka beranggapan bahwa tuhan Islam itu kejam, pendendam, tukang siksa dan sebagainya. Seperti itulah anggapan orang terhadap tuhan Islam. Pada hal tuhan Islam (Allah SWT) yang sebenarnya adalah Zat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang tidak seperti yang tergambarkan pada beberapa adegan pada sinetron Rahasia Ilahi.
Demikian sekelumit contoh-contoh aplikasi teori kultivasi. Teori kultivasi sebenarnya menawarkan kasus yang sangat masuk akal, khususnya dalam tekannya pada kepentingan televisi sebagai media dan fungsi simbolik di dalam konteks budaya. Akan tetapi, teori ini tidak lepas dari sasaran kritik. Gerbner telah dikritik karena terlalu menyederhanakan permasalahan. Perilaku kita boleh jadi tidak hanya dipengaruhi oleh televisi, tetapi oleh banyak media yang lain, pengalaman langsung, orang lain yang berhubungan dengan kita dan sebagainya.

Two step flow theory (teori komunikasi dua tahap) dari Katz dan Lazarsfeld

Media Massa —> Pesan-pesan —> Opinion Leaders—> Followers (Mass Audience)

Konsep komunikasi dua tahap (two step flow of communication) pada awalnya berasal dari Paul Felix Lazarsfeld, Bernard Berelson dan Hazel Gaudet yang berdasarkan pada penelitiannya menyatakan bahwa ide-ide seringkali datang dari radio dan surat kabar yang ditangkap oleh pemuka pendapat (opinion leaders) dan dari mereka ini berlalu menuju penduduk yang kurang giat. Hal ini pertama kali diperkenalkan oleh Lazarsfeld pada tahun 1944. Kemudian dikembangkan oleh Elihu Katz di tahun 1955.
Pada awalnya para ilmuan berpendapat bahwa efek yang diberikan media massa berlaku secara langsung seperti yang dikatakan oleh teori jarum suntik. Akan tetapi Lazarsfeld mempertanyakan kebenarannya. Pada saat itu, mungkin saja dia mempertanyakan apa hubungan antara media massa dan masyarakat pengguna media massa saat kampanye pemilihan presiden berlangsung. Selain itu keingintahuan Lazarsfeld terhadap apa saja efek yang diberikan media massa pada masyarakat pengguna media massa pada saat itu serta cara media massa menyampaikan pengaruhnya terhadap masyarakat.
Lazarsfeld yang pada saat itu melakukan observasi yang kemudian menemukan kesimpulan yang sedikit bertolak belakang dengan apa yang diyakini sebelumnya. Hal yang ditemukan Lazarsfeld bahwa terdapat banyak hal yang terjadi saat media massa menyampaikan pesannya. Cara kerja media massa dalam mempengaruhi opini masyarakat terjadi dalam dua tahap. Disebut dua tahap karena model komunikasi ini dimulai dengan tahap pertama sebagai proses komunikasi massa, yaitu sumbernya adalah komunikator kepada pemuka pendapat. Kedua sebagai proses komunikasi antarpersonal, yaitu dimulai dari pemuka pendapat kepada pengikut-pengikutnya. Proses tersebut bisa digambarkan seperti bagan di bawah ini:
 Teori ini berasumsi bahwa media tidak membuat orang langsung terpengaruh oleh muatan informasi yang dibawahnya.
 Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa proses pengaruh terjadi justeru melalui perantaraan orang-orang yang dikenal dengan sebutan pemuka pendapat (opinion leader).
 Pemuka pendapat ini pula yang berperan dalam merekomendasikan dan mengkonfirmasi perubahan sikap dan perilaku masyarakat di sekitarnya.
 Jadi, pemimpinlah yang menjadi target pesan media massa, yang diharapkan dapat mempengaruhi pendapat para pengikutnya (Josep A Devito, 1997)
Teori ini memperlihatkan bahwa pengaruh media itu kecil, ada variabel lain yang lebih bisa mendominasi dalam mempengaruhi masing-masing penonton. Hal ini dapat dicontohkan pada dua orang yang sedang menonton sebuah iklan motor di TV. Orang pertama berkeyakinan bahwa motor yang ditayangkan dalam iklan tersebut adalah paling bagus daripada motor lainnya, karena ia pun telah mencoba dan membuktikannya. Dan akhirnya ia menceritakan hal itu kepada penonton lain yang kebetulan sedang mencari motor yang dianggap baik pula. Setelah itu, penonton kedua pun mendapat keyakinan yang sama,

Sehingga ia membeli motor yang serupa. Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel lain yang dianggap lebih bisa mendominasi daripada media adalah seseorang terdekat yang memberi pengaruh kuat pada orang lainnya.

Kelemahan:

• Kurang memperhatikan audiens, karena tidak memperhatikan aliran pesan kepada audiens
• Model ini juga tidak menunjukkan dampak media kepada audiens, karena yang dilihat hanya aspek penafsiran pemimpin opini meskipun pesan-pesan yang disampaikan berasal dari media massa.

Kritik Wilbur Schramm & William Porter (1982):

• Tidak selalu informasi yang disampaikan media massa (mis. TV) proses penerimaannya berdasarkan pertimbangan opinion leader.
• Biasanya para opinion leader memiliki SSE, SSP, SSP lebih tinggi daripada audiens, jadi mereka terbiasa dengan komunikasi massa dibandingkan para pengikutnya.
Uses and Gratification
Teori yang dikemukakan oleh Blumler, Gurevitch dan Katz (Griffin, 2003) ini menyatakan bahwa pengguna media memainkan peran yang aktif dalam memilih dan menggunakan media. Pengguna media menjadi bagian yang aktif dalam proses komunikasi yang terjadi serta berorientasi pada tujuannya dalam media yang digunakannya. Littlejohn menyatakan bahwa teori ini menekankan fokus pada individu khalayak ketimbang pesan dari media itu sendiri.
Model Uses and Gratification yang dikemukakan oleh Elihu Katz (1974), mengemukakan bahwa khalayak aktif menggunakan media massa dan karena adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan.
Apa yang mendorong anda menggunakan media massa ? Alasan-alasan apa yang mendasari anda mengunakan suatu jenis media ? Dalam situasi dan kondisi bagaimana anda menggunakan media massa ? Cukupkah satu jenis media memenuhi kebutuhan anda, ataukah anda menggunakan lebih dari satu jenis media untuk informasi yang sama atau jenis media yang berbeda untuk informasi yang berbeda ? Apakah anda menggunakan media sambil melakukan aktifitas lain ? Apakah anda mendasarkan pendapat anda pada media tertentu dan mengunakan media massa secara rutin, pada saat membutuhkan saja atau karena terpaksa menggunakan suatu jenis media tertentu (karena tidak ada pilihan) ? Dan sekian banyak pertanyaan yang berkaitan dengan perpektif Uses and Gratification (penggunaan dan kepuasan).
Menurut Blumler dan Katz (1974, dalam Fiske, 2007:213-214) beberapa asumsi mendasar dari uses and gratifications adalah sebagai berikut:
1) Khalayak itu aktif. Khalayak bukanlah penerima yang pasif atas apa pun yang media siarkan. Khalayak memilih dan menggunakan isi program.
2) Para anggota khalayak secara bebas menyeleksi media dan program-programnya yang terbaik yang bisa mereka gunakan untuk memuaskan kebutuhannya.
3) Media bukanlah satu-satunya sumber pemuasan kebutuhan.
4) Orang bisa atau dibuat bisa menyadari kepentingan dan motifnya dalam kasus-kasus tertentu.
5) Pertimbangan nilai tentang signifikansi kultural dari media massa harus dicegah. Semisal, tidaklah relevan untuk menyatakan program-program infotainment itu sampah, bila ternyata ditonton oleh sekian juta penonton.
Faktor personal yaitu demografis individu seperti faktor usia, jenis kelamin, pendidikan, penghasilan, pengetahuan dan psikologis dsb serta faktor lingkungan sosial seperti organisasi, sistem sosial, dan struktur sosial dan sebagainya sebagai antesenden pada motif orang. Sedangkan motif sendiri dapat diartikan sebagai dorongan pada diri individu untuk bereaksi tertentu pada situasi dan kondisi tertentu, termasuk pada saat dihadapkan dengan media massa. Berbagai macam kebutuhan yang memotivasi orang mengapa mengunakan media.
Tingkatan kebutuhan yang dimaksud dapat dilihat pada apa yang disampaikan oleh Maslow, maupun klasifikasi kebutuhan dalam proses komunikasi massa yang disampaikan oleh Katz dalam Severin and Tankard (1997:333), yaitu :

1. Coqnitive Needs ( memperoleh informasi, pengetahuan dan pengertian)
2. Affective Needs (pemenuhan kebutuhan emosi dan estetika)
3. Personal integration Needs (kredibilitas, konfiden, status dan stabilitas)
4. Social Integration Needs (kontak dengan famili, kawan, dan penerimaan oleh lingkungan)
5. Tention and relax needs ( kebutuhan untu melepas kejenuhan, rilek, hiburan, sesuatu yang berubah / berbeda dari rutinitas).
Mc Quail, Blumer, Brown (1972) dalam Severin and Tankard (1997: 332) mengkategorikan “kebutuhan dan gratifikasi khalayak” adalah:
1. Divertion (escape from routine and problem (lepas dari rutinitas dan masalah sehari- hari), pemenuhan kebutuhan emosi; santai, senang, hiburan dsb)
2. Personal relationship (informasi dari media sebagai bahan untuk sosialisasi dengan orang lain)
3. Personal indentity or individual Psycology (mencari penguatan atau peneguhan indentitan diri, memperoleh pengetahuan, pengertian, dan mempelajari realitas yang ada)
4. Survenillance (informasi tentang sesuatu hal, yang mungkin dibutuhkan pada suatu waktu tertentu olehnya)
Sebelum mengunakan media, khalayak memiliki harapan-harapan tertentu sebelum menggunakan media, seberapa besar media yang ia gunakan dapat memenuhi sekian banyak jenis kebutuhan? Harapan penguna tentunya berbagai kebutuhan tersebut dapat semuanya dapat dipenuhi media massa yang jumlahnya tidak banyak dan tidak sulit mendapatkanya. Namun kalau melihat tidak terbatasnya motif dan kebutuhan manusia prioritas harapan khalayak sebagai hal yang realistik yang mengarahkan pola pengunaan media.
Sedangkan pola pengunaan media dapat diartikan sebagai jumlah waktu (durasi), frekuensi, tingkat perhatian dan keterlibatan ia mengunakan media. Semakin banyak waktu yang dialokasikan dan frekuensi mengunakan media akan memperbesar jenis media dan jenis isi yang diperolehnya, demikian juga tingkat perhatian ia pada saat ia mengunakan media akan membedakan persepsinya pada isi media.
Seberapa besar intensitas kepuasan ia setelah mengunakan suatu jenis media? Dapatkah kebutuhan tersebut dipenuhi oleh satu jenis media massa atau lebih jenis media massa, ataukah harus dipenuhi pula oleh media komunikasi yang lain (face to face communication, komunikasi dengan kelompok pergaulan dsb). Dengan demikian efek yang dapat dijelaskan dalam model ini adalah sejauhmana pemuasan berbagai kebutuhan dan konsekuensi lain setelah mengunakan media massa.
Katz melihat alasan penggunaan media massa dengan motif (dorongan dari dalam diri untuk bereaksi tertentu dan dalam siatuasi tertentu) dan alasan yang rasional, padahal tidak saja khalayak tersebut menggunakan alsan yang rasional saja, tidak jarang khalayak mengunakan media massa karena kebetulan bahkan mungkin terpaksa mengunakan suatu media karena tidak ada media massa lain yang dapat digunakan, atau tidak dapat memilih jenis isinya.
Kita ambil contoh, sambil menunggu pelayanan obat di apotik, maka individu menggunakan media televisi yang ada. Penggunaan media ini mungkin karena hanya faktor kebetulan saja, atau mungkin tidak ada media lain yang dapat anda gunakan (artinya anda terpaksa menggunakannya), dan anda terpaksa menggunakan jenis isi yang ada dalam suatu canel karena ditonton bersama-sama. Penggunaan disini bukan karena alasan yang rasional, memang anda membutuhkan informasi dari suatu media, tetapi mungkin anda memiliki alasan tidak rasional mengunakan media massa tersebut hanya untuk mengisi waktu luang saja.
Perse and Courtright (1993) dalam Tankard (1997 : 334) mengindentifikasikan 11 jenis Needs (kebutuhan) baik dalam komunikasi massa maupun komunikasi antar persona, yaitu :
1. To relax
2. To be entertained
3. To forget work or other thing
4. To have to do with friends
5. To pass the time away
6. To feel excited
7. To Fell less lonely
8. To satisfy a habit
9. To learn things abouth my self and others
10. To let others know I care abouth their feelings
11. To get someones to do samething for me

Secara umum, inilah kelebihan dan kelemahan dari uses and gratifications:
Kelebihan Kekurangan
1. Memfokuskan perhatian pada individu dalam melihat proses komunikasi massa.
2. Respek pada kemampuan intelektual dari pengguna media.
3. Menyediakan analisis yang mencerahkan bagaimana pengguna berinteraksi dengan isi media
4. Membedakan antara pengguna yang aktif dengan yang pasif.
5. Mempelajari media sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
6. Menyediakan wawasan yang berguna untuk dalam proses adopsi terhadap media baru. 1. Bergantung pada analisis fungsional, yang dapat menciptakan bias terhadap status quo.
2. Tidak dapat dengan mudah memberi petunjuk ada tidaknya efek.
3. Banyak konsep-konsep kuncinya dikritik, karena tidak dapat diukur
4. Terlalu berorientasi pada level mikro.
(Baran & Davis, 2009:242)
Teori Proses Selektif
Teori proses selektif ( selective processes theory) ini merupakan hasil penelitian lanjutan tentang efek media massa pada Perang Dunia II yang mengatakan bahwa penerimaan selektif media massa mengurangi sejumlah dampak media. Teori ini menilai orang cenderung melakukan selective exposure (terpaan selektif). Mereka menolak pesan yang berbeda dengan kepercayaan mereka.
Tahun 1960, Joseph Klapper menerbitkan kajian penelitian efek media massa yang tergabung dalam penelitian pasca perang tentang persuasi, pengaruh pesona dan proses selektif. Klapper menyimpulkan bahwa pengaruh media itu lemah, presentase pengaruhnya kecil bagi pemilih dalam pemilihan umum, pasar saham, dan para pengiklan.
Teori Pembelajaran Sosial
Selama beberapa tahun kesimpulan Klapper dirasakan kurang memuaskan. Penelitian dimuali lagi dengan memakai pendekatan baru, yang dapat menjelaskan pengaruh media yang tak dapat disangkal lagi, terutama televisi, terhadap remaja. Muncullah teori baru efek media massa yaitu sosial learning theory (teori pembelajaran sosial). Teori ini kini diaplikasikan pada perilaku konsumen, kendati pada awalnya menjadi bidang penelitian komunikasi massa yang bertujuan untuk memahami efek terpaan media massa.
Berdasarkan hasil penelitian Albert Bandura, teori ini menjelaskan bahwa pemirsa meniru apa yang mereka lihat di televisi, melalui suatu proses observational learning (pembelajaran hasil pengamatan) Klapper menganggap bahwa ”ganjaran” dari karakter TV diterima mereka sebagai perilaku antisosial, termasuk menjadi toleran terhadap perilaku perampokan dan kriminalitas, menggandrungi kehidupan glamor seperti di televisi.

Kesimpulan
Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan suatu tindakan ( act ) yang selalu dilakukan dan sangat penting untuk menyelaraskan pemikiran, makna dan pesan yang disampaikan komunikator kepada komunikan. Dapat dikatakan pula komunikasi sebagai transfer atau proses pemindahan ide, pesan atau informasi dari komunikator kepada bkomunikan baik secara langsung maupun menggunakan perantara. Perantara yang dimaksud disini adalah media, maka muncul istilah Media komunikasi massa yang terdiri dari media cetak dan media elektronik.
Dalam perkembangannya komunikasi massa mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap perubahan budaya dan perilaku baik pola pikir maupun pola hidup masyarakat yang terangkum dalam suatu perilaku.
Media komunikasi massa mempunyai peranan penting dalam membentuk jati diri bangsa, diamping itu pula memiliki peran yang dapat mengubah budaya dimasyarakat sehingga nilai serta norma – norma terkadang melenceng dari aturan yang telah lama melekat dan akhirnya menjadi pandangan hidup bangsa.
Komunikasi massa merupakan komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak maupun elektronik yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang melembagakan dan ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar dibanyak tempat, anonim dan heterogen ( Dedy Mulyana, 2000 ), maksud dari pengertian tersebut, salah satu jenis – jenis dari bentuk komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, bermacam – macam dan tanpa nama melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.

TEORI KRITIS

TEORI KRITIS

Teori kritis adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas. Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas dari Madzhab Frankfurt. Dengan kata lain, teori kritis merupakan produk dari institute penelitian sosial, Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman. Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961.
Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt – paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina – paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman.
Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis. Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern.
Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.

TOKOH-TOKOH TEORI KRITIS
• Max Horkheimer
• Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf)
• Friedrich Pollock (ekonom)
• Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud)
• Karl Wittfogel (sinolog)
• Leo Lowenthal (sosiolog)
• Walter Benjamin (kritikus sastra)
• Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika).
Pada intinya madzhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang terlalu bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi) sangat menentukan supras truktur (politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia). Kemudian mereka mengembangkan kritik terhadap masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan.
Teori kritis tidak hanya menumpukkan analisisnya pada struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikan perhatian pada kebudayaan masyarakat (culture society). Seluruh program teori kritis Madzhab Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah manifesto yang ditulis di dalam Zeischrift tahun 1957 oleh Horkheimer. Dalam artikel tentang “Teori Tradisional dan teori Kritik” (Traditionelle und KritischeTheorie) ini, konsep “Teori kritis” pertama kalinya muncul. Tokoh utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas yang terkenal dengan teori komunikasinya. Diungkapkan Goerge Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi :
• Teori Marxian yang deterministic yang menumpukan semua persoalan pada bidang ekonomi
• Positivisme dalam Sosiologi yang mencangkok metode sains eksak dalam wilayah sosial-humaniora katakanlah kritik epistimologi
• Teori- teori sosiologi yang kebanyakan hanya memperpanjang status quo
• Kritik terhadap masyarakat modern yang terjebal pada irrasionalitas, nalar teknologis,nalar instrumental yang gagal membebaskan manusia dari dominasi
• Kritik kebudayaan yang dianggap hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan.

Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal :
1. Berpikir dalam totalitas (dialektis)
2. Berpikir empiris-historis
3. Berpikir dalam kesatuan teori dan praksis
4. Berpikir dalam realitas yang tengah dan terus bekerja (working reality).

Mereka mengembangkan apa yang disebut dengan kritik ideology atau kritik dominasi. Sasaran kritik ini bukan hanya pada struktur sosial namun juga pada ideologi dominan dalam masyarakat. Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud :

1. Kritik dalam pengertian Kantian. Immanuel Kant melihat teori kritis dari pengambilan suatu ilmu pengetahuan secara subyektif sehingga akan membentuk paradigma segala sesuatu secara subyektif pula. Kant menumpukkan analisisnya pada aras epistemologis; tradisi filsafat yang bergulat pada persoalan “isi” pengetahuan. Untuk menemukan kebenaran, Kant mempertanyakan “condition of possibility” bagi pengetahuan. Bisa juga disederhanakan bahwa kitik Kant terhadap epistemologi tentang (kapasitas rasio dalam persoalan pengetahuam) bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri dan dapat menjadi ‘pengadilan tinggi’. Kritik ini bersifat transendental. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka.
2. Kritik dalam pengertian Hegelian. Kritik dalam makna Hegelian merupakan kritik terhadap pemikiran kritis Kantian. Menurut Hegel, Kant berambisi membangun suatu “meta-teori” untuk menguji validitas suatu teori. Menurut Hegel pengertian kritis merupakan refleksi-diri dalam upaya menempuh pergulatan panjang menuju ruh absolute. Hegel merupakan peletak dasar metode berpikir dialektis yang diadopsi dari prinsip tri-angle-nya Spinoza Diktumnya yang terkenal adalah therational is real, the real is rational. Sehingga, berbeda dengan Kant, Hegel memandang teori kritis sebagai proses totalitas berfikir. Dengan kata lain, kebenaran muncul atau kritisisme bisa tumbuh apabila terjadi benturan dan pengingkaran atas sesuatu yang sudah ada. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia.
3. Kritik dalam pengertian Marxian. Menurut Marx, konsep Hegel seperti orang berjalan dengan kepala. Ini adalah terbalik. Dialektika Hegelian dipandang terlalu idealis, yang memandang bahwa, yang berdialektika adalah pikiran. Ini kesalahan serius sebab yang berdialektika adalah kekuatan-kekuatan material dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi masyarakat). Sehingga teori kritisbagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat.
4. Kritik dalam pengertian Freudian. Madzhab frankfrut menerima Sigmun Freud karena analisis Freudian mampu memberikan basis psikologis masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan masyarakat. Freud memandang teori kritis dengan refleksi dan analisis psikoanalisanya. Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatu karena didorong oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukan perubahan dalam dirinya. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.

Berdasarkan empat pengertian kritis di atas, teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar kontemplasi pasif prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris. Sedang teori yang emansipatoris harus memenuhi tiga syarat :

Pertama, bersifat kritis dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya. Kedua, berfikir secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat. Ketiga, tidak memisahkan teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil yang obyektif.

CIRI-CIRI TEORI KRITIS
• Tidak berurusan dengan prinsip umum.
• Ide atau teori itu harus bersifat emansipatif tidak hanya menginterpretasikan, namun juga membebaskan atau mengubah situasi.
• Selalu curiga, mencari dark side of another theory yang tidak diungkapkan oleh teori itu sendiri.
• Menilai bahwa teori lain (liberalis, realis, dan lainnya) selalu mengandaikan bahwa kebenaran di luar sana bersifat absolute positivis.
• Teori itu bukanlah sesuatu yang berada di luar kita, melainkan merupakan sebuah bagian dari hidup kita.
• Ilmu dipengaruhi latar belakang maupun sejarah orang yang merekonstruksinya dimana ideology itu dibentuk oleh individu yang terbatas dalam memahami realitas dan amat terpengaruh oleh latar belakang dan lingkungannya.
• Teori kritis hanya sebatas mengkritisi dan akhirnya terjebak menjadi mazhab yang dipahami dalam bentuk dogma atau status quo.
• Teori kritis tidak memisahkan teori dan praktek. Ilmu tidak bisa bebas nilai. Teori harus bisa menjelaskan nilai, maksud, dan keberpihakannya.
• Teori kritis mengatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan harus lewat kritik. Bahwa pemikiran besar tidak pernah final, bisa mendekati kebenaran tapi tidak bisa menjadi kebenaran.
• Teori kritis menganggap bahwa kaum positivis menggunakan akal untuk membentuk ilmu final, sedangkan teori kritis mengharuskan akal menjadi kritis.
• Teori kritis yang mengkritik teori Marxis menyatakan bahwa manusia tidak seharusnya hanya hidup dalam satu dimensi saja, yaitu uang.

ASUMSI DASAR TEORI KRITIS
Teori kritis sendiri merupakan teori yang tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip umum, tidak membentuk sistem ide. Teori ini berusaha memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari irasionalisme. Dengan demikian fungsi teori ini adalah emansipatoris. Ciri teori ini adalah :
• Kritis terhadap masyarakat. Teori Kritis mempertanyakan sebab-sebab yang mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat. Struktur masyarakat yang rapuh ini harus diubah.
• Teori kritis berpikir secara historis, artinya berpijak pada proses masyarakat yang historis. Dengan kata lain teori kritis berakar pada suatu situasi pemikiran dan situasi sosial tertentu, misalnya material-ekonomis.
• Teori kritis tidak menutup diri dari kemungkinan jatuhnya teori dalam suatu bentuk ideologis yang dimiliki oleh struktur dasar masyarakat. Inilah yang terjadi pada pemikiran filsafat modern. Menurut Madzhab Frankfurt, pemikiran tersebut telah berubah menjadi ideologi kam kapitalis. Teori harus memilikikekuatan, nilai dan kebebasan untuk mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk menjadi ideologi.
• Teori kritis tidak memisahkan teori dari praktek, pengetahuan dari tindakan, serta rasio teoritis dari rasio praktis. Perlu digarisbawahi bahwa rasio praktis tidak boleh dicampuradukkan dengan rasio instrumental yang hanya memperhitungkan alat atau sarana semata. Madzhab Frankfurt menunjukkan bahwa teori atau ilmu yang bebas nilai adalah palsu. Teori kritis harus selalu melayani transformasi praktis masyarakat.

TRADISI KRITIS

Tradisi kritis berasal dari pemikiran Karl Marx dan Frederich Engels yang disebut ”Marxisme”. Untuk memahami tradisi kritis, ada 3 hal yang esensial yang menjadi ciri khas teori-teori dalam tradisi kritis, yaitu :
1. Tradisi kritis memandang sistem, struktur kekuasaan dan keyakinan atau ideologi yang mendominasi masyarakat, dengan cara perspektif khusu yaitu kepada siapa kekuasaan berpihak. Antara lain : Siapa dapat menyuaraan kepentingannya, siapa tidak. Kepentingan siapa yang dilayani dalam masyarakat, kepentingan siapa tidak dikorbankan
2. Para penyusun teori dalam tradisi kritis secara khusus berkeinginan untuk melawan kondisi sosial dan struktur kekuasaan yang tidak ”adil” guna membangkitkan emansipasi atau membebaskan masyarakat dari tekanan tersebut.
3. Ilmu Sosial kritis berusaha membangun kesadaran sosial melalui teori dan aksi secara jelas memunculkan sifat normatif dan menggerakkkan perubahan dalam kmondisi masyarakat yang ada. Sehingga teori-teori kritis kebanyakan memberi perhatian dan berpihak kepada kelompok-kelompok yang termarginalkan.

Tradisi kritis menaruh minat pada penggunaan dan permainan bahasa. Bahasa dianggap oleh para teoretisi kritis digunakan puha-pihak dominan untuk menyembunyikan kekuasaan. Bahasa mengkonstruksi pikiran kita dan menempatkan posisi kita.
Teori kritis menganggap tugas mereka adalah mengungkap kekuatan-kekuatan penindas dalam masayarakat melalui analisis dialektika. Masyarakat biasanya merasakan semacam tatanan yang muncul di permukaan, dan pekerjaan teori kritis adalah untuk menunjukkan dasar pemikiran dari kekuatan-kekuatan yang saling berlawanan. Hanya dengan melihat dialektika dari kekuatan-kekuatan yang saling berlawanan yang membentuk suatu sintesis atau tatanan, maka orang dapat diberi kebebasan untuk mengubah tatanan yang ada. Jika tidak, mereka akan tetap terasing satu sama lain dan dari masyarakat secara keseluruhan. Analisis semacam ini juga merupakan suatu bentuk tindakan atau, dalam istilah teori kritis, praxis, karena meruntuhkan kemamapan menuju seperangkat kontrakdiksi dan distorsi.
Teori kritis memberikan perhatian yang sangat besar pada alat-alat komunikasi dalam masyarakat. Komunikasi merupakan suatu hasil tekanan (tension) antara kreatifitas individu dalam memberi kerangka pada esan dan kendala-kendala sosial terhadap kreatifitas tersebut. Hanya jika individu benar-benar bebas untuk mengekspresikan dirinya dengan kejelasan dan penalaran, maka pembebasan akan terjadi, dan kondisi tersebut tidak akan terwujud sampai munculnya suatu tatanan masyarakat yang baru.
Salah satu kendala utama pada ekspresi individu adalah bahasa itu sendiri. Kelas-kelas dominan masyarakat menciptakan suatu bahasa penindasan dan pengekangan, yang membuat kelas pekerja menjadi sangat sulit untuk memahami situasi mereka dan untuk keluar dari situasi tersebut (di sini kita dapat melihat kesamaan antara teori kritis dengan teori feminisme dan filsafat hermeneutika). Kewajiban dari teori kritis adalah menciptakan bentuk-bentuk bahasa baru yang memungkinkan diruntuhkannnya paradigma dominan (S Djuarsa Sendjaja, 1994).
Tradisi kritis memiliki cakupan yang luas. Oleh karena itu teori-teori yang barada dalam tradisi kritis amatlah beraga. Berikut ini akan dibahas :
1. Marxisme, ajarana Marx yang asli, sebagai dasar yang mengilhami tradisi kritis
2. Teori Kritis Frankfurt School, yang mengabil dasar ajaran Marx, tetapi kemudian mengembangkannya dengan berbagai cara yang kreatif
3. Postmodernisme, sebagai aliran besar, beserta cabang-cabangnya, yaitu : Kajian Budaya, Poststrukturalisme, Postkolonialisme.
4. Feminisme, yang secara spesisfik mempelajari ”penjeniskelaminan” yang ada dalam berbagai kehidupan sosial.

1. Marxisme
Marxisme dianggap sebagai dasar pemikiran dari semua teori-teori yang ada dalam tradisi kritis. Marxiesme ( dengan M besar) berasal dari pemikiran Karl Marx, seorang ahli filsafat, sosiologi dan ekonomi dan Friedrich Engels, sahabatna. Marxisme beranggapan bahwa sarana produksi dalam masyarakat bersifat terbatas. Ekonomi adalah basis seuruh kehidupan sosial. Saat ini, kehidupan sosial dikuasai oleh kelompok kapitalis, atau sistem ekonomi yang ada saat ini adalah sistem ekonomi kapitalis.
Dalam masyarakat yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis, profit merupakan faktor yang mendorong proses produksi, dan menekan buruh atau kelas pekerja. Hanya dengan perlawanan terhadap kelas dominan (pemilik kapital) dan menguasai alat-alat produksi, kaum pekerja dapat memperoleh kebebasan. Teori Marxist klasik ini dinamakan ’The Critique of Political Economy’ (kritik terhadap Ekonomi Politik).
Marx ingin membangun suatu filsafat praxis yang benar-benar dapat menghasilkan kesadran untuk merubah realitas, pada saat Marx hidup, yakni masyarakat kapitalis berkelas dan bercirikan penghisapan. Teori Marx meletakkan filsafat dalam konteks yang historis, sosiologis dan ekonomis. Teori Marx bukan sekedar analisa terhadap masyarakat. Teori Marx tidak bicara eonomi semata tetapi ”usahanya untuk membuka pembebasan manusia dari penindasan kekuatan-kekutan ekonomis”. (Sindhunata, 1983 : 42).
Menurut Marx, dalam sistem ekonomi kapitalis yang mengutamakan profit, masing-masing kapitalis beruang mati-matian untuk mengeruk untuk sebanyak mungkin. Jalan paling langsung untuk mencapai sasaran itu adalah dengan penghisapan kerja kaum pekerja. Namun kaum pekerja lama-lama memiliki kesadaran kelas dan melawan kaum kapitalis.
Yang akan terjadi menurut ramalan Marx adalah penghisapan ekonomi dengan cara penciptaan kebutuhan-kebutuhan artifisial (palsu) lewat kepandaian teknologi kaum kapitalis. Oleh karena itu kaum kapitalis monopolis ditandai dengan kemajuan teknologi yang luar biasa. Dengan difasilitasi teknologi, tidak lagi terjadi penghisapan pekerja oleh majikan di sebuah perusahaan, tetapi penghisapan ekonomi ”si miskin” oleh ”si kaya” di luar jam kerja, di luar institusi ekonomi. Kapitalisme dapat menimbun untung karena nilai yang diberikan oleh tenaga kerja secara gratis, di luar waktu yang sebenarnya diperlukan untuk memproduksi suatu pekerjaan, Inilah salah satu kritik ekonomi politik kapitalisme Marx.

2. Frankfurt School
Frankfurt School atau Sekolah Frankfurt merupakan aliran atau mazhab yang secara sederhana sering dipahami sebagai ”aliran kritis”. Teori-teori kritis banyak dikembangkan oleh akademisi dengan meninggalkan ajaran asli Marxisme, namun perlawanan terhadap dominasi dan penindasan tetap menjadi ciri khas. Teori-teori kritis ini sering disebut neo marxist (amarxisme baru) atau marxist (denan m kecil).
Farnkfurt School berasal dari pemikiran sekelompok ilmuwan German di bidang filsafat, sosiologi dan ekonomi yang tergabung ”the Institute for Sosial Research” yang didirikan di Frankfurt, Jerman pada tahun 1923. Anggota-anggotanya antara lain : Max Horkheimer, Theodor Adorno dan Hebert Macuse.
Frankfurt School diilhami ajaran Karl Marx, namun sekaligus melampui dan meninggalkan ajaran Marx secara baru dan kreatif. Cara pemikiran Sekolah Frankfurt mereka sebut sendiri sebagai ”Teori Kritik Masyarakat”. Teori Kritis memandang diri sebagai pewaris cita-cita Karl Marx, sebagai teori yang emansipatoris. Teori Kritis tidak hanya menjelaskan tetapi mengubah pemberangusan manusia.
Maksud teori itu adalah membebaskan manusia dari pemanipulasian para teknokrat modern. (Sindhunata, 1983 : xiii). Teori Kritik Masyarakat pada hakekatnya mau menjadi ”Aufklarung”. Aufklarung berarti : mau membuat cerah, mau mengungkap segala tabir yang menutup tabir, yang menutup kenyataan yang tak manusiawi terhadap kesadaran kita. Teori Kritik Masyarakat mengungkapkan apa yang dirasakan oleh kelas-kelas tertindas, sehingga kelas-kelas ini menyadari ketertindasannya dan memberontak.
Dalam Frankfurt School dikeal nama Jurgen Habermas, murid termasyhur Theodor W. Adorno, yang membaharui Teori Kritis secara fundamental. Pokok pembaharuannya tersebut adalah :
1. Bila ajaran Marx menganggap basik seluruh kehidupan adalah ekonomi dan bekerja adalah aktivitas pokok manusia, maka menurut Habermas pekerjaan hanya salah satu tindakan dasar manusia saja.
2. Di samping pekerjaan masih terdapat tindakan yang sama dasariah, yaitu interaksi atau komunikasi antarmanusia,
Dalam konteks kedua ini kemudian nama Jurgen Habermas menjadi sangat terkenal di kalangan akademisi komunikasi. Menurut Habermas penidasan tidak dapat bersifat total, tetapi masih ada tempat di mana manusia dapat mengalami ide kebebasan, sehingga selalu masih ada tempat berpijak untuk menentang penindasan. Tempat itu adalah komunikasi.
Temuan Habermas bahwa komunikasi adalah ”tempat ide kebebasan” dijelaskan Suseno sebagai berikut :
”Habermas memperlihatkan bahwa komunikasi tidak mungkin tanpa adanya kebebasan, Kita dapat saja dipaksa atau didesak untuk mengatakan ini atau itu, tetapi kita tak pernah dapat dipaksa untuk mengerti. Manangkap maksud orang lain pun tak pernah dapat dipaksakan. Begitu pula orang tak dapat dipaksa menyadari suatu kebenaran, untuk menyetujui suatu pendapat dalam hati, atau untuk mencinta seseorang. Dalam pengalaman komunikasi sudah tertanam pengalaman kebebasan”. (Sindhunata, 1983 : xxiii).

3. Postmodernisme
Postmodernisme adalah paham yang menolak bahwa proyek pencerahan yang dijanjikan moderenitas. Menurut penganut posmodernisme, modernitas yang ditandai dengan munculnya masyarakat industri dan banyaknya informasi telah memanipulasi berbagai hal termasuk pengetahuan. Beberapa tokoh postmodernisme adalah :
1. Jean Fracois Lyotard, berpendapat bahwa postmodernime menolak janji besar modernisme, bahwa modernisme membawa kemauan masyarakat.
2. Jean Baurillard, berpendapat bahwa dalam modernisme, realitas dan cerita tdak dapat dibedakan. Maka budaya dalam masyarakat modern tidak dapat dipercaya karena merupakan realitas artifisal atau realitas palsu. Misal : dengan kemauan teknologi, lukisan asli tidak dapat dibedakan dengan lukisan pasu. Bahkan kadang yang palsu lebih bagus dari yang asli.

Postsrukturalis : adalah salah satu cabang postmodernisme yang secara khusus menolak makna-makna tanda yang sudah terstruktur dalam pola pikir masyarakat. Setiap orang bebas menafsirkan makna tanda yang ditemui. Roland Barthes tentang semiotika adalah salah satu contoh.

Postkolonialisme : juga merupakan salah satu anak cabang postmodernisme, tetapi yang secara khusus mempelajari budaya-budaya yang ada saat ini sebagai akibat proses penjajahan masa lalu.

Kajian Budaya : Teori-teori dalam Kajian Budaya berminat dalam mempelajari budaya-budaya yang terpinggirkan oleh ideologi-ideologi dominan yang hidup pada sebuah budaya. Fokus Kajian Budaya adalah perubahan sosial, yaitu munculnya atau diakuinya budaya-budaya yang termarginalkan tersebut. Ini yang membedakan dengan Frankfur School yang melawan dominasi untuk merebut kekuasaan dalam masyarakat. ”Arena bermain” Kajian Budaya antara lain : ras, gender, usia.
Kajian Budaya merupakan sebuah bidang studi interdisipliner. Kajian Budaya diakui sebagai bidang studi secara resmi, ditandai dengan munculnya ”the Centre for Contempory Cultural Studies” di Birmingham, Inggris tahun 1964.
Salah satu teori atau konsep baru postmodern khususnya postkolonialisme dan juga dapat dikategorikan sebagai kajian Budaya adalah : Teori Identitas Budaya yang dibuat Stuart Hall. Teori ini menolak identitas Afrika (orang-orang kulit hitam) seperti yang diberikan oleh Eropa (orang-orang kulit putih).
Setidaknya ada 2 cara yang berbeda untu berpikir tentang ”identitas budaya” :
1. Cara pertama mendefinisikan ”identitas budaya” sebagai suatu kesatuan, sebuah kumpulan tentang kebenaran seseorang, menyembunyikan atau menonjolkan sesuatu tentang diri kita dimana usur sejarah bersatu di masa sekarang. Dengan definisi ini identitas budaya kita merefesikan pengalaman sejarah dan kode-kode budaya memiliki andil dalam membentuk kita menjadi ”seseorang:, dengan krangka yang stabil, tidak berubah dan tetap tentang refernsi dan makna.
2. Cara kedua yang disusun Stuart Hall untuk melihat identitas budaya adalah melihat beberapa kesamaan sekaligus perbedaan yang membentuk siapa diri kita sekaligus perbedaan yang membentuk ”siapa diri kita sesungguhnya”, dibandingkan ”ita telah menjadi apa”. Idenitas budaya dalam cara pandang kedua ini adalah masalah akan menjadi apa ita kelak dan siapa kita sekarang. Identitas budaya menjadi bagian dari masa depan juga masa lalu. Identitas budaya datang dari suatu tempat, meiliki sejarah, secara konstan beruaha. Identitas budaya adalah permainan dari sejarah, budaya dan kekuasaan. Identitas adalah nama yang kita berikan kepada kita dengan cara berbeda dimana kita diposisikan dan posisi dimana kita berada di masa lalu.
Teori Stuart Hall menyusun teori yang menghasilkan konsep baru atau definisi baru berdasarkan pemahaman tentang karakter traumatik pengalaman penjajahan. Cara dimana orang-orang kulit putih hitam diposisikan dan diperlakukan dalam rezim dominan kulit putih, yang memiliki dampak pada kekuatan budaya. Oang kulit hitam dikonstrusikan sebagai kelompok yang berbeda dalam rezim barat.

4. Feminisme
Studi feminisme adalah label ”generik” bagi studi yang menggali makna penjenis kelaminan (gender) dalam masyarakat. Perumus-perumus teori feminisme mengamati bahwa banyak aspek dalam kehidupan memiliki makna gender. Gender adalah konstrusi sosial yang meskipun bermanfaat, tetapi telah didominasi oleh bias laki-laki dan merugikan wanita. Teori Feminisme bertujuan untuk terjadina kesetaraan antara laki-laki dan wanita di dunia.
Salah satu teori feminisme, khususnya teori komunikasi feminisme adalah tentang Representasi yang disusun oleh Rakow dan Wackwitz. Rakow dan Wackwitz meneliti penggunaan-penggunaan bahasa yang digunakan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Siapa dipilih untuk berbicara atau memutuskan sesuatu adalah merupakan pertanyaan politis, yang menempatkan dimana posisi perempuan dan dimana laki-laki.
2. Siapa berbicara untuk siapa, atau suara siapa, yang dimuculkan dalam teks.
3. Satu bagian untuk mengungkapkan keseluruhan atau berbicara sebagai bagian dari kelompok.
4. Siapa dapat berbiara dan merepresentasikan siapa?
5. Pemilihan penulis dan penerbit media. (2004 : 172-179)

Salah satu teori feminisme itu adalah muted group theory, yang dirintis oleh antropolog Edwin Ardener dan Shirley Ardener. Melalui pengamatan yang mendalam, tampaklah oleh Ardener bahwa bahasa dari suatu budaya memiliki bias laki-laki yang melekat di dalamya, yaitu bahwa laki-laki menciptakan makna bagi suatu kelompok, dan bahwa suara perempuan ditindas atau dibugkam. Perempuan yang dibungkam ini, dalam pengamatan Ardener, membawa kepada ketidakmampuan perempuan untuk dengan lantang mengekspresikan dirinya dalam dunia yang didominasi laki-laki.
Teori komunikasi feminisme Cheris Kramarae memperluas dan melengkapi teori bungkam ini dengan pemikiran dan penelitian mengenai perempuan dan komunikasi. Dia mengemukakan asumsi-asumsi dasar dari teori ini sebagai berikut :
1. Perempuan menanggapi dunia secara berbeda dari laki-laki karena pengalaman dan aktivitasnya berbeda yang berakar pada pembagian kerja.
2. Karena dominasi politiknya, sistem persepsi laki-laki menjadi dominan, menghambat ekspresi bebas bagi pemikiran alternatif perempuan.
3. Untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus menguah perspektif mereka ke dalam sistem ekspresi yang dapat diterima laki-laki.

Kramarae mengemukakan sejumlah hipotesis mengenai perempuan berdasarkan beberapa temuan penelitian :
1. Perempuan lebih banyak mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri dibanding laki-laki. Ekspresi perempuan biasanya kekurangan kata untuk pengalaman yang feminim, karena laki-laki yang tidak berbagi pengalaman tersebut, tidak mengembangkan istilah-istilah yang memadai.
2. Perempuan lebih mudah memahami makna laki-laki daripada laki-laki memahami makna perempuan. Bukti dari asumsi ini dapat dilihat pada berbagai hal : Laki-laki cenderung menjaga jarak dari ekspresi perempuan karena mereka tidak memahami ekspresi tersebut, perempuan lebih sering menjadi obyek dari pengalaman daripada laki-laki, laki-laki dapat menekan perempuan dan merasionalkan tindakan tersebut dengan dasar bahwa perempuan tidak cukup rasional atau jelas. Jadi perempuan harus mempelajari sistem komunikasi laki-laki, sebaliknya laki-aki mengisolasi dirinyadari sistem perempuan.
3. Hipotesis ke-3 ini membawa pada asumsi yang ketiga, perempuan telah menciptakan cara-cara ekspresinya sendri di luar sistem lak-laki dominan misalnya : diary, surat, kelompok-kelompok penyadaran dan bentuk-bentuk seni alternatif.
4. Perempuan cenderung untuk mengekpresikan lebih banyak ketidakpuasan tentang komunikasi dibanding laki-laki. Perempuan mungkin akan berbicara lebih banyak mengenai persoalan mereka dalam menggunakan bahasa atau kesukarannya untuk menggunakan perangkat komunikasi laki-laki.
5. Perempuan seringkali berusaha untuk mengubah aturan-aturan komunikasi yang dominan dalam rangka menghindari atau menentang aturan-aturan konvensional.
6. Secara tradisional perempuan kurang menghasilkan kata-kata baru yang populer di masyarakat luas, konsekuensinya, mereka merasa tidak dianggap memiliki kontribusi terhadap bahasa.
7. Perempuan memiliki konsepsi huloris yang berbeda daripada laki-laki. Karena perempuan memiliki metode konseptualisasi dan ekspresi yang berbeda, sesuatu yang tampak lucu bagi laki-laki menjadi sama sekali tidak lucu bagi perempuan.

PARADIGMA KRITIS

William Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial dikenal adanya tiga jenis utama paradigma :
1. Order Paradigm (Paradigma Keteraturan) Inti dari paradigma keteraturan adalah bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur sosial adalah fungsional terhadap struktur lainnya. Kemiskinan, peperangan, perbudakan misalnya, merupakan suatu yang wajar, sebab fungsional terhadap masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori strukturalisme fungsional. Secara eksternal paradigma ini dituduh a historis, konservatif, pro-satus quo dan karenanya, anti-perubahan. Paradigma ini mengingkari hukum kekuasaan : setiap ada kekuasaan senantiasa ada perlawanan.Untuk memahami pola pemikiran paradigma keteraturan dapat dilihat skema berikut:

Elemen paradigmatik Asumsi dasar Type ideal
Imajinasi sifat dasar manusia Rasional, memiliki kepentingan pribadi, ketidakseimbangan personal dan berpotensi memunculkan dis integrasi sosial Pandangan hobes mengenai konsep dasar Negara
Imajinasi tentang masyarakat Consensus, kohesif/fungsional struktural, ketidakseimbangan sosial, ahistoris, konservatif, pro-status quo, anti perubahan Negara Republic Plato
Imajinasi ilmu pengetahuan Sistematic, positivistic, kuantitatif dan prediktif. Fungsionalisme Auguste Comte, fungsionalisme Durkheim, fungsionalisme struktural Talcot Parson

2. Conflic Paradigm (Paradigma Konflik) Secara konseptual paradigma Konflik menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa :- Setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan- Perubahan tidak selalu gradual; namun juga revolusioner- Dalam jangka panjang sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicious circle)tak berujung pangkal Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap komunitas, tak mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan. Konflik menjadi instrument perubahan. Untuk memahami pola pemikiran paradigma konflik dapat dilihat skema berikut:

Elemen paradigmatik Asumsi dasar Type ideal
Imajinasi sifat dasar manusia Rasional,kooperatif, sempurna Konsep homo feber hegel
Imajinasi tentang masyarakat Integrasi sosial terjadi karena adanya dominasi, konflik menjadi instrument perubahan, utopia Negara Republic plato
Imajinasi ilmu pengetahuan Filsafat materialisme, histories, holistic, dan terapan Materialisme historis marx

3. Plural Paradigm (Paradigma plural)Dari kontras/perbedaan antara paradigma keteraturan dan paradigma konflik tersebut melahirkan upaya membangun sintesis keduanya yang melahirkan paradigma plural. Paradigma plural memandang manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya. Untuk memahami pola pemikiran paradigma plural dapat dilihat skema berikut:

Elemen paradigmatik Asumsi dasar Type ideal
Imajinasi sifat dasar manusia Manusia bertindak atas kesadaran subyektif, memiliki kebebasan menafsirkan realitas/aktif Konsep kesadarn diri imanuel kant
Imajinasi tentang masyarakat Struktur internal yang membentuk kesadaran manusia, kontrak sosial sebagai mekanisme control. Konsep kontrak sosial J.J Rousseau
Imajinasi ilmu pengetahuan Filsafat idealisme, tindakan manusia tidak dapat diprediksi Metode verstehen Weber

Terbentuknya Paradigma Kritis Ketiga paradigma di atas merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru. Dari optic pertumbuhan teori sosiologi telah lahir Paradigma kritis setelah dilakukan elaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik.Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain.. Apabila disimpulkan apa yang disebut dengan paradigma kritis adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir sosial atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada:
• Analisis struktural : membaca format politik, format ekonomi dan politik hukum suatu masyarakat, untuk menelusuri nalar dan mekanisme sosialnya untuk membongkar pola dan relasi sosial yang hegeminik, dominatif, dan eksploitatif.
• Analisis ekonomi untuk menemukan fariabel ekonomi politikbaik pada level nasional maupun internasional.
• Analisis kritis yang membongkar “the dominant ideology” baik itu berakar pada agama, nilai-nilai adat, ilmu atau filsafat. Membongkar logika dan mekanisme formasi suatu wacana resmi dan pola-pola eksklusi antar wacana.d. Psikoanalisis yang akan membongkar kesadaran palsu di masyarakat.e. Analisis kesejarahan yang menelusuri dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, actor-aktor sejarah baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat.

KESIMPULAN

Pada mulanya teori kritis berarti pemaknaan kembali ideal-ideal modernita tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi dari ideal-ideal itu dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjuis.
Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif yang luas dan beragam. Ia bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yang kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, dan dunia. Saat ini teori kritis menjadi salah satu alat epistemologis yang dibutuhkan dalam studi humaniora. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa makna bukanlah sesuatu yang alamiah dan langsung. Bahasa bukanlah media transparan yang dapat menyampaikan ide-ide tanpa distorsi, sebaliknya ia adalah seperangkat kesepakatan yang berpengaruh dan menentukan jenis-jenis ide dan pengalaman manusia.
Teori kritis berusaha mengungkap dan memertanyakan asumsi dan praduga itu. Dalam usahanya, teori kritis menggunakan ide-ide dari bidang lain untuk memahami pola-pola dimana teks dan cara baca berinteraksi dengan dunia. Hal ini mendorong munculnya model pembacaan baru. Karenanya, salah satu ciri khas teori kritis adalah pembacaan kritis dari dari berbagai segi dan luas.
Teori kritis juga merupakan perangkat nalar yang jika diposisikan dengan tepat dalam sejarah, mampu merubah dunia. Hal ini memunculkan diskursus dalam filsafat Jerman tentang hubungan antara teori dan praktis, yakni bahwa aktivitas praktis manusia dapat merubah teori. Teori kritis, dengan demikian, adalah pembacaan filosofis dalam arti tradisional yang disertai kesadaran terhadap pengaruh yang mungkin ada dalam bangunan ilmu, termasuk didalamnya pengaruh kepentingan.

TEORI KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI

Definisi KAP
KAP adalah komunikasi yang berlangsung dalam situasi tatap muka antara dua orang atau lebih, baik secara terorganisasi maupun pada kerumunan orang (Wiryanto, 2004).
Komunikasi Interpersonal (KIP) adalah interaksi orang ke orang, dua arah, verbal dan non verbal. Saling berbagi informasi dan perasaan antara individu dengan individu atau antar individu di dalam kelompok kecil (Febrina, 2008)
KIP Antara Dua Orang adalah komunikasi dari seseorang ke orang lain, dua arah interaksi verbal dan nonverbal yang menyangkut saling berbagi informasi dan perasaan.
KIP Antara Tiga Orang atau lebih, menyangkut komunikasi dari orang ke beberapa oarng lain (kelompok kecil). Masing-masing anggota menyadari keberadaan anggota lain, memiliki minat yang Pendekatan KAP
Tiga pendekatan utama tentang pemikiran KAP berdasarkan:
1. Komponen-komponen utama.
2. Hubungan diadik.
3. Pengembangan

Komponen-Komponen Utama
Bittner (1985:10) menerangkan KAP berlangsung, bila pengirim menyampaikan informasi berupa kata-kata kepada penerima dengan menggunakan medium suara manusia (human voice).
Menurut Barnlund (dikutip dalam Alo Liliweri: 1991), ciri-ciri mengenali KAP sebagai berikut:
1. Bersifat spontan.
2. Tidak berstruktur.
3. Kebetulan.
4. Tidak mengejar tujuan yang direncanakan.
5. Identitas keanggotaan tidak jelas.
6. Terjadi sambil lalu.

Hubungan Diadik
Hubungan diadik mengartikan KAP sebagai komunikasi yang berlangsung antara dua orang yang mempunyai hubungan mantap dan jelas.
Untuk memahami perilaku seseorang, harus mengikutsertakan paling tidak dua orang peserta dalam situasi bersama (Laing, Phillipson, dan Lee (1991:117).
Trenholm dan Jensen (1995:26) mendefinisikan KAP sebagai komunikasi antara dua orang yang berlangsung secara tatap muka (komunikasi diadik). Sifat komunikasi ini adalah:
1. Spontan dan informal.
2. Saling menerima feedback secara maksimal.
3. Partisipan berperan fleksibel.
Trenholm dan Jensen (1995:227-228) mengatakan tipikal pola interaksi dalam keluarga menunjukkan jaringan komunikasi.

Pengembangan
KAP dapat dilihat dari dua sisi sebagai perkembangan dari komunikasi impersonal dan komunikasi pribadi atau intim. Oleh karena itu, derajat KAP berpengaruh terhadap keluasan dan kedalaman informasi sehingga merubah sikap.

Efektifitas KAP
KAP merupakan komunikasi paling efektif untuk mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang.
Menurut Kumar (2000: 121-122), lima ciri efektifitas KAP sebagai berikut:
1. Keterbukaan (openess).
2. Empati (empathy).
3. Dukungan (supportiveness).
4. Rasa positif (positiveness).
5. Kesetaraan (equality).
Feedback yang diperoleh dalam KAP berupa feedback positif, negatif dan netral.
Prinsip mendasar dalam komunikasi manusia berupa penerusan gagasan.
David Berlo (1997:172) mengembangkan konsep empati menjadi teori komunikasi. Empat tingkat ketergantungan komunikasi adalah:
1. Peserta komunikasi memilih pasangan sesuai dirinya.
2. Tanggapan yang diharapkan berupa umpan balik.
3. Individu mempunyai kemampuan untuk menanggapi, mengantisipasi bagaimana merespon informasi, serta mengembangkan harapan-harapan tingkah laku partisipan komunikasi.
4. Terjadi pergantian peran untuk mencapai kesamaan pengalaman dalam perilaku empati.
Berlo membagi teori empati menjadi dua:
1.Teori Penyimpulan(inference theory), orang dapat mengamati atau mengidentifikasi perilakunya sendiri.
2. Teori Pengambilan Peran (role taking theory), seseorang harus lebih dulu mengenal dan mengerti perilaku orang lain.
Tahapan proses empati :
1. Kelayakan (decentering).
2. Pengambilan peran (role taking).
3. Empati komuniksi (empathic communication).

Kelayakan (decentering)
Bagaimana individu memusatkan perhatian kepada orang lain dan
mempertimbangkan apa yang dipikirkan dan dikatakan orang lain tersebut.
Pengambilan peran (role taking)
Mengidentifikasikan orang lain ke dalam dirinya, menyentuh kesadaran diri melalui
orang lain.
Tingkatan dalam pengambilan peran:
1. Tingkatan budaya (cultural level), mendasarkan keseluruhan karakteristik dari
norma dan nilai masyarakat.
2. Tingkatan sosiologis (sociological level), mendasarkan pada asumsi sebagian
kelompok budaya.
3. Tingkatan psikologis (psycological level), mendasarkan pada apa yang dialami oleh individu.

Empati komunikasi (empathic communication)
Empati komunikasi meliputi penyampaian perasaan, kejadian, persepsi atau proses yang menyatakan tidak langsung perubahan sikap/perilaku penerima.
Blumer mengembangkan pemikiran Mead melalui pokok pikiran interaksionisme simbolik yaitu “Manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai objek tersebut bagi dirinya.

Teori fungsional.
Kata fungsional disini hakekatnya ini bukanlah sebuah teori, melainkan suatu perspektif yang dapat digunakan sebagai pijakan teori. Beberapa teori komunikasi menggunakan perspektif fungsional ini.

Teori-teori Struktural dan Fungsional
Bagian ini memasukkan kelompok utama pendekatan-pendekatan yang tergabung secara samar dalam ilmu sosial. Meski makna istilah strukturalisme dan
fungsionalisme kurang begitu tepat, tetapi keduanya percaya bahwa struktur sosial adalah hal yang nyata dan berfungsi dalam cara yang dapat diamati secara objektif.
Sebagai contoh, pengamat komunikasi mungkin berasumsi bahwa hubungan personal merupakan sesuatu yang nyata dengan bagian-bagian yang disusun secara khusus, seperti juga rumah yang merupakan suatu yang nyata dengan material yang disusun sesuai rencana. Disini hubungan dilihat sebagai struktur sosial. Pengamat akan berasumsi lebih jauh bahwa hubungan yang ada bersifat tidak statis tetapi memiliki atribut seperti ikatan, ketergantungan, kekuatan, kepercayaan dan sebagainya.

Meskipun strukturalisme dan fungsionalisme seringkali digabung, tetapi keduanya tetap berbeda dalam penekanannya. Strukturalisme yang berakar pada linguistik, menekankan pada organisasi bahasa dan sistem sosial. Fungsionalisme yang berakar pada biologi, menekankan pada cara-cara sistem yang terorganisasi bekerja untuk menunjang dirinya. Sistem terdiri atas variabel-variabel yang berhubungan timbal balik dengan variabel lain dalam sebuah fungsi network. Perubahan pada satu variabel akan mengakibatkan perubahan pada yang lain. Peletakan dua pendekatan ini secara bersama-sama menghasilkan suatu gambaran sistem sebagai struktur elemen dengan hubungan yang fungsional. Sebagai contoh, beberapa peneliti komunikasi organisasi menggunakan pendekatan struktural-fungsional dalam kerja mereka. Mereka melihat organisasi sebagai suatu sistem dimana bagian-bagian yang terkait membentuk departemen, tingkatan, perilaku umum, suasana, aktivitas kerja dan produk.

Teori kebutuhan hubungan interpersonal
Teori sistem dan komunikasi dalam hubungan
Salah sastu bagian dalam lapangan komunikasi yang dikenal sebagai relational communication sangat dipengaruhi oleh teori sistem. Apakah Sistem itu ? Suatu sistem merupakan serangkaian hal yang saling berhubungan satu sama lain dan membentuk suatu keseluruhan. Suatu sistem terdiri dari empat unsur. Yang pertama yaitu obyek. Obyek adalah bagian, elemen, atau variabel dari sebuah sistem. Bagian tersebut dapat berupa fisik atau abstrak atau keduanya, bergantung pada hakekat sistem. Kedua, sistem terdiri dari sifat, kualitas, atau ciri dari sistem dan obyeknya. Ketiga, suatu sisem mempunyai hubungan internal diantara obyek-obyeknya. Ini merupakan karakteristik penting yang membatasi kualitas sistem dan merupakan tema utama yang akan diuraikan secara rinci pada bab ini. Keempat, sistem mempunyai lingkungan. Sistem tidak muncul dalam ruang kosong tetapi dipengaruhi oleh lingkungannya.
Inti dari kerja ini adalah asumsi bahwa fungsi komunikasi interpersonal untuk membuat, membina, dan mengubah hubungan dan bahwa hubungan pada gilirannya akan mempengaruhi sifat komunikasi interpersonal.

Teori disonansi kognitif
Teori Leon Festinger mengenai dissonansi kognitif merupakan salah satu teori yang paling penting dalam sejarah psikologi sosial. Selama bertahun-tahun teori ini menghasilkan sejumlah riset dan mengisi aliran kritik, interpretasi, dan extrapolasi.
Festinger mengajarkan bahwa dua elemen kognitif termasuk sikap, persepsi, pengetahuan, dan perilaku. Tahap pertama yaitu posisi nol, atau irrelevant, kedua yaitu konsisten, atau consonant dan ketiga yaitu inkonsisten, atau dissonant. Dissonansi terjadi ketika satu elemen tidak diharapkan mengikuti yang lain. Jika kita pikir merokok itu berbahaya bagi kes ehatan, mereka tidak berharap kita merokok. Apa yang konsonan dan dissonan bagi seseorang tidak bisa berlaku b agi orang lain. Jadi kita harus selalu menanyakan apa yang konsisten dan yang tidak konsisten dalam sistem psik ologis orang itu sendiri.
Dua premis yang menolak aturan teori dissonansi. Pertama yaitu bahwa dissonansi menghasilkan ketegangan atau penekanan yang menekan individu agar berubah sehingga dissonansi terkurangi. Kedua, ketika dissonansi hadir, individu tidak hanya berusaha menguranginya, melainkan juga akan menghindari situasi dimana dissonansi tambahan bisa dihasilkan.
Semakin besar dissonansi, semakin besar kebutuhan untuk menguranginya. Contoh, semakin perokok tidak konsisten dengan pengetahuannya mengenai efek negatif merokok, semakin besar dorongan untuk berhenti merokok. Dissonansi itu sendiri merupakan hasil dari dua variabel lain, kepentingan elemen kognitif dan sejumlah elemen yang terlibat dalam hubungan yang dissonan. Dengan kata lain, jika kita mempunyai beberapa hal yang tidak konsisten dan jika itu penting untuk kita, kita akan mengalami dissonansi yang lebih besar. Jika kesehatan tidak penting, pengetahuan bahwa merokok itu buruk bagi kesehatan kemungkinan tidak mempengaruhi perilaku perokok secara aktual.
Kebanyakan teori dan riset mengenai dissonansi kognitif disekitar situasi yang bervariasi dimana dissonansi sebenarnya dihasilkan. Ini memasukkan situasi seperti pembuatan keputusan, persetujuan yang terpaksa, inisiatif, dukungan sosial, dan usaha yang sungguh-sungguh.
Jumlah dissonansi sebuah pengalaman sebagai hasil keputusan bergantung pada empat variabel, pertama dan yang terpenting yaitu keputusan. Keputusan tertentu, yaitu seperti ketinggalan sarapan, mungkin tidak dan menghasilkan sedikit dissonansi, tetapi membeli mobil dapat menghasilkan banyak dissonansi.
Variabel kedua adalah sifat menarik alternatif yang dipilih. Hal lain yang mirip, bahwa semakin kurang atraktif alternatif pilihan, semakin besar dissonansi. Kita kemungkinan akan menderita lebih banyak dissonansi dari membeli mobil butut daripada mobil yang masih mulus.
Ketiga, semakin besar sifat atraktif yang diketahui dari alternatif yang dipilih, semakin terasa dissonansi. Jika kita berharap kita dapat menabung untuk pergi ke Eropa disamping membeli mobil, kita akan menderita dissonansi.
Keempat, semakin tinggi tingkat similaritas atau tumpang tindih diantara alternatif, semakin kurang dissonansi. Jika kita berdebat diantara dua mobil yang sama, membuat keputusan dengan bertujuan pada salah satu tidak akan menghasilkan banyak dissonansi, tetapi jika kita memutuskan antara membeli mobil dan pergike Eropa, kita akan memiliki banyak dissonansi.
Teori dissonansi juga membuat beberapa prediksi lain. Teori itu meramalkan, misalnya, bahwa semakin sulit inisiatif seseorang terhadap kelompok, semakin besar komitmen orang itu untuk berkembang. Semakin banyak dukungan sosial yang seseorang terima dari teman terhadap ide atau tindakan, semakin besar tekanan untuk percaya pada ide atau tindakan itu. Semakin besar jumlah usaha yang diterapkan dalam tugas, semakin orang akan merasionalisasi nilai tugas tersebut.

Teori self disclosure
Disclosure dan understanding merupakan tema penting dalam teori komunikasi pada tahun ’60 dan ‘70-an. Sebagian besar sebagai konsekuensi aliran humanistik dalam psikologi, sebuah ideologi “honest communication” muncul, dan beberapa dari pemikiran kita tentang apa yang membuat komunikasi interpersonal itu baik dipengaruhi oleh gerakan ini. Didorong oleh karya Carl Rogers, disebut Third Force begitu dalam psikologi menyatakan bahwa tujuan komunikasi adalah meneliti pemahaman diri dan orang lain dan bahwa pengertian hanya dapat terjadi dengan komunikasi yang benar.
Menurut psikologi humanistik, pemahaman interpersonal terjadi melalui self-disclosure, feedback, dan sensitivitas untuk mengenal / mengetahui orang lain. Misunderstanding dan ketidakpuasan dalam hubungan diawali oleh ketidakjujuran, kurangnya kesamaan antara tindakan seseorang dengan perasaannya, miskin feedback, serta self disclosure yang ditahan.
Banyak riset pengenalan diri muncul dari gerakan humanistik ini. Seorang teoritisi yang menggali proses self-disclosure ini adalah Sidney Jourard. Uraiannya bagi kemanusiaan sifatnya terbuka dan transparan. Transparansi berarti membiarkan dunia untuk mengenal dirinya secara bebas dan pengenalan diri seseorang pada orang lain. Hubungan interpersonal yang ideal menyuruh orang agar membiarkan orang lain mengalami mereka sepenuhnya dan membuka untuk mengalami orang lain sepenuhnya.
Jourard mengembangkan gagasan ini setelah mengamati bahwa sakit mental cenderung tertutup bagi dunia. Dia menemukan bahwa mereka menjadi sehat ketika mereka bersedia mengenalkan dirinya pada ahli terapi. Kemudian, Jourard menyamakan kesakitan (sickness) dengan ketertutupan dan kesehatan dengan
transparansi. Jourard melihat pertumbuhan – pergerakan orang menuju cara
berperilaku yang baru- sebagai hasil langsung dari keterbukaan pada dunia. Orang yang sakit sifatnya tetap dan stagnan; pertumbuhan orang akan sampai pada posisi hidup baru. Selanjutnya, perubahan merupakan esensi dari pertumbuhan personal.
Personal growth melekat pada komunikasi interpersonal sebab dunia merupakan sosial yang sangat luas. Untuk menerima perubahan seseorang itu sendiri meminta kita untuk menetapkan bahwa kita juga diterima oleh orang lain. Pertumbuhan akan sulit jika orang-orang di sekitar kita tidak membuka untuk penerimaan kita sendiri.
Sekarang kita mengerti self-disclosure sebagai proses yang lebih kompleks daripada yang dilakukan pada tahun ’60 dan ‘70-an. Sebagai contoh pemikiran terbaru atas subyek ini, Sandra Petronio meletakkan secara bersamaan serangkaian ide mengenai kompleksitas self-disclosure dalam relationship. Teori ini berdasar pada risetnya sendiri dan survey pada sejumlah banyak kajian lain dengan topik pengembangan hubungan dan disclosure. Dia menerapkan teori ini pada pasangan yang menikah khususnya, selain juga dapat diterapkan pada bermacam-macam; hubungan.
Menurut Petronio, individu terlibat dalam hubungan secara konstan menjadi bagian dalam proses pengaturan yang membatasi antara publik dan privat, antara perasaan dan pikiran yang mereka mau berbagi dengan sang patner dengan perasaan dan pikiran yang tidak mau mereka bagi.
Permainan diantara kebutuhan untuk berbagi dan kebutuhan untuk melindungi diri ini sifatnya konstan dan mendorong pasangan untuk membicarakan dan mengkoordinasi batasan mereka. Kapan kita diketahui dan kapan tidak ? dan ketika pasangan memberitahukan informasi personal, bagaimana kita merespon ?
Ketika orang memberi tahu sesuatu, dia sedang membuat permintaan pada orang lain untuk meresponnya dengan sesuai. Demand / permintaan dan respond perlu dikoordinasi. Ketika kita memberi tahu sesuatu pada patner kita, dia dapat merespon dalam cara yang membantu kualitas hubungan dan kebahagiaan atau dalam cara yang tidak begitu.
Selanjutnya, pengaturan batasan memerlukan pertimbangan dan pikiran. Orang membuat keputusan mengenai bagaimana dan kapan untuk memberi tahu, dan mereka memutuskan mengenai bagaimana merespon permintaan orang lain. Bermacam-macam strategi langsung dan tidak langsung dapat diusahakan, dan problem yang berulang bagi pasangan yaitu mengkoordinasi jenis-jenis disclosure dan respon yang mereka gunakan. Contoh, ketika kita membuat disclosure yang langsung dan jelas, kita biasanya menginginkan respon yang juga langsung dan jelas, dan ketika kita membuat disclosure yang samar dan implisit, kita mungkin ingin diberi lebih banyak waktu untuk mendalami situasi, mungkin secara coba-coba, dengan patner kita.
Sejauh ini, semua teori yang dibahas menunjukkan bagaimana pentingnya informasi dalam penguatan hubungan. Kita kadang-kadang memantau informasi yang disediakan oleh orang lain dan memberi informasi mengenai diri kita sendiri.

Teori penetrasi sosial
Salah satu proses yang paling luas dikaji atas perkembangan hubungan adalah penetrasi sosial. Secara garis besar, ini merupakan ide bahwa hubungan menjadi labih akrab seiring waktu ketika patner memberitahukan semakin banyak informasi mengenai mereka sendiri. Selanjutnya, social penetration merupakan proses peningkatan disclosure dan keakraban dalam hubungan.

Altman dan Taylor (1973) mengemukakan suatu model perkembangan hubungan yang disebut social penetration atau penetrasi social, yaitu suatu proses di mana orang saling mengenal satu dengan lainnya. Model ini selain melibatkan self-disclosure juga menjelaskan bilamana harus melakukan self-disclosure dalam perkembangan hubungan.

Penetrasi merupakan proses bertahap, dimulai dari komunikasi basa-basi yang tidak akrab dan terus berlangsung hingga menyangkut topic pembicaraan yang lebih pribadi/akrab, seiring dengan berkebangnya hubungan. Di sini orang akan membiarkan orang lain untuk lebih mengenal dirinya secara bertahap. Dalam proses ini biasanya orang akan menggunakan persepsinya untuk menilai keseimbangan antara upaya dan ganjaran (costs and rewards) yang diterimanya atas pertukaran yang terus berlangsung untuk memperkirakan proses hubungan mereka. Jika perkiraan tersebut menjanjikan kesenangan/keuntungan, maka mereka secara bertahap akan bergerak menuju tingkat hubungan yang lebih akrab.

Altman dan Taylor menggunakan bawang merah (onion) sebagai analogi untuk menjelaskan bagaimana orang melalui interaksi saling mengelupas lapisan-lapisan informasi mengenai diri masing-masing. Lapisan luar berisi informasi superficial seperti nama, alamat atau umur. Ketika lapisan-lapisan ini sudah terkelupas; kita semakin mendekati lapisan terdalam yang berisi informasi yang lebih mendasar tentang kepribadian. Altman dan Taylor juga mengemukakan adanya dimensi “keleluasaan” dan “kedalaman” dari jenis-jenis informasi, yang menjelaskan bahwa pada setiap lapisan kepribadian. Keleluasaan mengacu pada banyaknya jenis-jenis informasi pada lapisan tertentu yang dapat diketahui oleh orang lain dalam pengembangan hubungan. Dimensi kedalaman mengacu pada lapisan informasi mana (yang lebih pribadi atau superficial) yang dapat dikemukakan pada orang lain. Kedalaman ini akan diasumsikan terus meniungkat sejalan dengan perkembangan hubungan. Model ini menggambarkan perkembangan hubungan sebagai suatu proses, dimana hubungan adalah sesuatu yang terus berlangsung dan berubah.
Altman dan Taylor menunjukkan bahwa perkembangan hubungan bukan hanya melibatkan peningkatan penetrasi sosial. Juga terlalu sering melibatkan keakraban yang menurun, ketidakteraturan, dan tanpa solusi. Altman dan Taylor menyarankan bahwa reward terkurangi dan cost meningkat pada level komunikasi yang lebih akrab, proses penetrasi sosial akan terbentuk dan hubungan akan mulai mengambil bagian.

Process View.
Agak berbeda dengan teori sebelumnya, Steve Duck (1985) menganggap bahwa kualitas dan sifat hubungan dapat diperkirakan hanya dengan mengetahui atribut masing-masing sebagai individu dan kombinasi antara atribut-atribut tadi. Sebagai contoh, seorang ibu yang langsung menanggapi anaknya yang menangis akan membentuk hubungan ibu-anak yang berbeda dengan ibu lain yang menunggu sekian lama sebelum menanggapi anaknya yang menangis. Meskipun demikian mengetahui atribut masing-masing hanyalah salah satu aspek yang mempengaruhi hubungan. Untuk mengenali tahap (kualitas hubungan) yang terjadi kita dapat melihatnya dari bagaimana saling menanggapi. Lebih jauh Duck mengungkapkan bahwa hubungan tidak selalu berkembang dalam bentuk linear dan berjalan mulus, dan bahwa orang tidak selalu aktif mencari informasi mengenai partnernya, baisanya malahan informasi tersebut didapat secara kebetulan dan bukan sengaja dicari. Bagi Duck tidak semua hubungan akrab, tidak semua hubungan berkembang, dan hubungan dapat sekaligus stabil dan memuaskan.

Social Exchange.
Teori ini menelaah bagaimana kontribusi seseorang dalam suatu hubungan mempengaruhi kontribusi orang lainnya. Thibaut dan Kelley, pencetus teori ini, mengemukakan bahwa yang mengevaluasi hubungannya dengan orang lain. Dengan mempertimbangkan konsekuensinya, khususnya terhadap ganjaran yang diperoleh dan upaya yang telah dilakukan, orang akan tetap memutuskan untuk tetap tingal dalam hubungan tersebut atau meninggalkannya (mempertahankan hubungan datau mengakhirinya). Ukuran bagi keseimbangan antara ganjaran dan upaya ini disebut comparisons level, dimana di atas ambang ukuran tersebut orang akan merasa puas dengan hubungannya. Misalnya kita beranggapan bahwa dasar dari persahabatan adalah kejujuran. Kita mengetahui bahwa sahabat kita berusaha untuk menipu, maka kita akan mempertimbangkan kembali hubungan persahabayan dengannya. Mungkin kita akan memutuskan untuk mengakhiri hubungan demi kebaikan, dengan kejujuran sebagai ambang ukuran, kita merasa bahwa ganjaran yang kita peroleh tidak sesuai dengan upaya kita untuk mempertahankan kejujuran dalam hubungan.

Sementara itu comparison level of alternatives merupakan hasil terendah/terburuk dalam konteks ganjaran dan upaya yang dapat ditolerir seseorang dengan mempertimbangkan alternative-alternatif yang dia miliki. Jika seseorang tidak banyak memiliki alternative hubungan maka dia akan memberikan standar yang cukup itu seringkali dirasakan merugikan bagi dirinya, namun karena tidak banyak memiliki alternative hubungan, dia akan berusaha mempertimbangkan hubungan tersebut. Sedangkan orang yang banyak memiliki alternative akan lebih mudah meninggalkan suatu hubungan bila dirasakan bahwa hubungan tersebut sudah tidak memuaskan lagi. Konsekuansi suatu hubungan dan konsekuaensi yang digunakan akan berubah seiring dengan perjalanan hubungan tersebut.

Roloff (1981) mengemukakan bahwa asumsi tentang perhitungan antara ganjaran dan upaya (untung-rugi) tidak berarti bahwa orang selalu berusaha untuk saling mengeksploitasi, tetapi bahwa orang lebih memilih lingkungan dan hubungan yang dapat memberikan hasil yang diinginkannya. Tentunya kepentingan masing-masing orang akan dapat dipertemukan untuk dapat saling memuaskan daripada hubungan yang eksploitatif. Hubungan yang ideal akan terjadi bilamana kedua belah pihak dapat saling memberikan cukup keuntungan sehingga hubungan menjadi sumber yang dapat diandalkan bagi kepuasan kedua belah pihak.

Teori Hipotesis Kecocokan (Matching Hipothesis)
Walster dan Berscheid menjelaskan bahwa kita berkawan dan berkencan dengan mereka yang setara dengan kita dalam ha daya tarik fisik. Walaupun kita mungkin tertarik kepada orang-orang yang secara fisik paling menarik, kita berkencan dan berkawan dengan orang-orang yang mirip dengan kita dalam hal daya tarik fisik. Contoh kasus, Jika anda bertanya kepada sekelompok kawan, “Kepada siapa anda merasa tertarik?” mereka mungkin sekali akan menyebutkan nama-nama orang yang paling menarik yang mereka ketahui.

Teori Saling Melengkapi (Complementarity)
Theodore Reik, berpendapat bahwa kita jatuh cinta kepada orang yang memiliki karakteristik yang tidak kita miliki dan bahwa sebenarnya kita merasa iri. Orang tertarik kepada orang lain yang tidak serupa hanya dalam situasi-situasi tertentu., Sebagai contoh, mahasiswa yang patuh dapat sangat cocok dengan seorang dosen yang agresif, tetapi mahasiswa ini tidak bias hidup cocok dengan istri atau suami yang agresif. Istri yang dominant mungkin cocok dengan suami yang penurut tetapi mungkin tidak cocok untuk beraul dengan teman yang penurut.
Teori ini meramalkan bahwa orang akan tertarik kepada mereka yang tidak serupa dengannya (artinya, tidak dogmatis).

Teori komunikasi kelompok

Prinsip dasar komunikasi kelompok

Filsuf Belanda, Baruch spinoza 300 tahun yang lalu menyatakan bahwa manusia adalah binatang sosial, pernyataan ini sangat di perkuat oleh psikologi modern. Yang menunjukkan bahwa orang lain mempunyai pengaruh yang sangat besar pada sikap kita, dan bahkan persepsi kita.
Orang lain yang mempengaruhi kita itu berada di dalam kelompok di mana kita menjadi anggotanya, besar maupun kecil, formal maupun informal. Kelompok orang ini bisa mempunyai dampak yang besar pada cara kita menerima pesan.
Menurut cooper dan johada menyatakan bahwa keanggotaan kelompok dapat menciptakan sikap prasangka yang sulit di ubah, kelompok mempengaruhi perilaku komunikasi orang dalam cara-cara lain.
Penelitian ilmiah mengenai pengaruh kelompok pada perilaku manusia di mulai pada tahun 1930_an, terutama dengan penelitian psikologi sosial Muzafer Sherif (1936,1937). Solomon Asch (1955,1956,1958). Ahli psikologi yang lain, mengerjakan pada suatu penelitian berharga pada tekanan kelompok dan persesuaian kelompok. Nama penting lain dalam penelitian kelompok adalah Kurt Lewin (1958), pendiri bidang yang di kenal dinamika kelompok (group dynamic), penelitian ilmiah perilaku manusia dalam kelompok. Penting nya kelompok dalam membentuk sikap politik dan pembuatan keputusan pemungutan suara di ungkapkan oleh suatu penelitian klasik yang dilaksanakan pada tahun 1940_an oleh sosiolog Paul Lazarsfleddan para koleganya (Lazarsfled, Barelson,dan Gaudet, 1968)[1]

A.Pengertian Kelompok.
Dalam ilmu sosial apakah itu psikologi, atau sosiologi, yang di sebut kelompok (group) bukan sejumlah orang yang berkelompok atau berkerumun bersama-sama di suatu tempat, misalnya sejumlah orang di alun-alun secara bersama-sama mendengarkan pidato tukang obat ynag tengah mempromosikan dagangannya, atau ibu-ibu di pasar yang secara bersama-sama sedang mengerumuni seorang pedagang sayur.
Apakah sejumlah orang secara bersama-sama berada di suatu tempat itu kelompok atau bukan, harus dilihat dari situasinya, contoh di atas mereka yang sedang mendengarkan bual tukang obat dan ibu-ibu yang tengah menawar sayur, adalah orang –orang dalam situasi kebersamaan (togetherness situasion). Beradanya mereka di situ secara bersama-sama kebutulan saja, karena tertarik perhatian oleh sesuatu. Mereka tidak saling mengenal. Kalaupun misalnya terjadi interaksi atau interkomunikasi, terjadinya hanya saat itu saja; sesudah itu tidak pernah terjadi lagi interaksi dan interkomunikasi.
Lain dengan situasi kelompok (group situation). Dalam situasi kelompok terdapat hubungan psikologis. Dengan demikian orang-orang yang terikat oleh hubungan psikologis itu tidak selalu berada secara bersama-sama di suatu tempat; mereka dapat saja berpisah, tetapi meskipun berpisah, tetap terikat oleh hubungan psikologis, yang menyebabkan mereka berkumpul bersama-sama secara berulang-ulang, bisa setiap hari. Contoh untuk itu adalah mahasiswa, karyawan, jawatan, buruh pabrik, para anggota pengajian atau anggota perkumpulan dan lain sebagainya.

A. I Klasifikasi Kelompok
Tidak setiap himpunan orang disebut kelompok. Orang-orang yang berkumpul di terminal, antri di depan bioskop, yang berbelanja di pasar, semuanya disebut agregat _bukan kelompok.[2] Supaya agregat menjadi kelompok di perlukan kesadaran pada anggota-anggota akan ikatan yang sama yang mempersatukan mereka. Kelompok mempunyai tujuan dan organisasi (tidak selalu formal) dan melibatkan interaksi di antara anggota-anggotanya. Jadi, dengan perkataan lain, kelompok mempunyai dua tanda psikologis. Pertama, anggota-anggota kelompok merasa terikat dengan kelompok _ ada sense of belonging_yang tidak dimiliki orang yang tidak bukan anggota. Kedua, nasip anggota-anggota kelompok saling bergantung sehingga hasil setiap orang terkait dalam cara tertentu dengan hasil yang lain (Baron dan Byrne, 1979:558)
Para ahli psikologi – juga ahli sosiologi telah mengembangkan berbagai cara untuk mengklasifikasikan kelompok disini kita akan menjelaskan empat dikotomi: primer-sekunder, ingroup-outgroup, rujukan–keangotaan, deskriptif-preskriptif.[3]
* Kelompok primer dan kelompok sekunder ;
Walaupun kita menjadi anggota banyak kelompok, kita terikat secara emosional pada beberapa kelompok saja. Hubungan kita dengan keluarga kita, kawan-kawan sepermainan, dan tetangga-tetangga yang dekat (dikampung bukan di real estate). Kelompok sekunder, secara sederhana, adalah lawan kelompok primer. Hubungan kita dengannya tidak akrab, tidak personal dan tidak menyentuh hati kita. Termasuk kelompok sekunder ialah organisasi massa, fakultas, serikat buruh, dan sebagainya.
Kita dapat melihat perbedaan antara kedua kelompok ini dari karakteristik komunikasi ; pertama, kualitas komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan meluas. Dalam artinya menembus kepribadian kita yang paling tersembunyi, menyikapkan unsur-unsur backstage(perilaku yang hanya kita tampakkan dalam suasana privat saja). Meluas artinya sedikit sekali Kendala yang menentukan rentangan dan cara berkomunikasi. Kedua, komunikasi pada kelompok primer bersifat personal. Ketiga, pada kelompok primer, komunikasi lebih menekankan aspek hubungan dari pada aspek isi. Komunikasi dilakukan untuk memelihara hubungan baik, dan isi komunikasi bukan hal yang sangat penting. Keempat dan kelima ekspesif dan informal, sebagai lawan dari instrumental dan formal.

* Ingroup dan outgroup ;
Ingroup adalah kelompok kelompok_kita, dan outgroup adalah sekelompok_mereka. Ingroup dapat berupa kelompok primer maupun sekunder. Keluarga kita adalah ingroup yang kelompok primer. Fakutas kita adalah ingroup yang kelompok sekunder. Perasaan ingroup diungkapkan dengan kesetiaan, solidaritas, kesenangan, dan kerjasama.
* Kelompok keanggotaan dan kelompok rujukan ;
Definisi kelompok rujukan sebagai kelompok yang digunakan sebagai alat ukur(standard) untuk menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap. Jika anda menggunakan kelompok itu sebagai teladan bagaimana seharusnya bersikap, kelompok itu menjadi kelompok rujukan positif; dan jika anda menggunakanya sebagai teladan bagaimana seharusnya kita tidak bersikap. Kelompok itu menjadi kelompok rujukan negatif. Kelompok yang terikat dengan kita secara nominal adalah kelompok rujukan kita; sedangkan yang memberikan kepada kita identifikasi psikologis adalah kelompok rujukan.
* Kelompok deskriptif dan kelompok preskriptif ;
John F. Cragan dan David W.Wright(1980:45) dari Illinois State University, membagi kelompok pada dua kategori : deskriptif dan preskriptif. Kategori deskriptif menunjukkan klasifikasi kelompok dengan melihat proses pembentukannya secara alamiah. Kategori preskriptif mengklasifikasikan kelompok menurut langkah-langkah rasional yang harus di lewati oleh anggota kelompok untuk mencapai tujuannya.
B. Pengertian Komunikasi Kelompok.
1. Pengertian Komunikasi Kelompok
Komunikasi kelompok (group communication) Berarti komunikasi yang berlangsung antara seorang komunikator dengan sekelompok orang yang jumlah nya lebih dari dua orang. Seperti telah di terangkan di muka, apabia komunikan seorang atau dua orang itu termasuk komunikasi antar pribadi.
Sekelompok orang yang menjadi komunikan itu bisa sedikit, bisa banyak. Apabila jumlah orang yang dalam kelompok itu sedikit yang berarti kelompok kelompok kecil, komunikasi yang berlangsung disebut komunikasi kelompok kecil (small group communication); jika jumlah banyak yang berarti kelompoknya besar dinamakan komunikasi kelompok besar (large group communication)[4].
Secara teoritis dalam ilmu komunikasi untuk membedakan komunikasi kelompok kecil dari komunikasi kelompok besar tidak didasarkan pada jumlah komunikan dalam hitungan secara matematik, melainkan pada kualitas proses komunikasi tersebut.
Pengertian kelompok disitu tidak berdasarkan pengertian psikologis melainkan pengertian komunikologis. Misal sejumlah kecil orang yang sedang mendengarkan pidato tukang obat di pasar, secara psikologis bukan merupakan kelompok, melainkan kerumunan orang yang berkumpul bersama –sama untuk sesaat. Bagi ilmu komunikasi, itu kelompok sejumlah orang yang sedang menjadi komunikan.
2. Bentuk –bentuk Komunikasi Kelompok
karakteristik yang membedakan komunikasi kelompok kecil dari kelompok besar sebagai berikut ;
a) Komunikasi kelompok kecil (small/micro group communication) adalah komunikasi yang ;
* Di tujukan kepada kognisi komunikan
* Prosesnya berlangsung secara dialogis
Dalam komunikasi kelompok kecil komunikator menunjukkan pesannya kepada benak atau pikiran komunikan misal; kuliah, ceramah, diskusi Dan lain-lain. Dalam situasi komunikasi seperti itu logika berparan penting. Komunikan dapat menilai logis tidanya uraian komunikator.
Ciri yang kedua dari komunikasi kelompok kecil ialah bahwa proses nya berlansung secara dialogis, tidak linear, melainkan sirkuler. Umpan balik terjadi secara verbal. Komunikan dapat menanggapi uraian komunikator, bisa bertanya jika tidak mengerti, dapat menyanggah bila tidak setuju dan lain sebagainya .
b) Komunikasi kelompok besar
Sebagai kebalikan dari komunikasi kelompok kecil, komunikasi kelompok besar (large/macro group communication) adalah komunikasi yang :
* Di tujukan kepada efeksi komunikan
* Prosesnya berlangsung secara linear
Pesan yang di sampaikan oleh komunikator dalam situasi komunikasi kelompok besar, di tujukan kepada afeksi komunikan, kepada hatinya atau kepada perasaannya. Contoh untuk komunikasi kelompok besar adalah misalnya rapat raksasa di sebuah lapangan, jika komunikan pada komunikasi kelompok kecil umumnya bersifat homogen (antara lain sekelompok orang yang sama jenis kelaminya, sama pendidikannya, sama status sosialnya), maka komunikan pada komunikasi kelompok besar umumnya bersifat heterogen; mereka terdiri dari individu-individu yang beranekaragam dalam jenis kelamin, usia,jenis pekerjaan,tingkat pendidikan, agama dan lain sebagainya.
Proses komunikasi kelompok besar bersifat linear, satu arah dari titik yang satu ke titik lain, dari komunikator ke komunikan. Tidak seperti pada komunikasi kelompok kecil yang telah di terangkan tadi berlangsung secara sirkular, dialogis, bertanya jawab. Dalam pidato dilapangan amat kecil kemungkinan terjadi dialog antara seorang orator dengan salah seorang khalayak massa.
Dengan demikian paparan mengenai komunikasi yang terdiri dari komunikasi kelompok kecil/micro dan komunikasi kelompok besar/makro. Ciri-ciri dari klasifikasi kelompok di atas bersifat ekstrim, artinya diantara kedua ekstrimitas itu terdapat modifikasi –modifikasi.

C.Pengaruh kelompok pada perilaku komunikasi.
Perubahan perilaku individu terjadi karena_apa yang lazim disebut dalam psikologi sosial sebagai pengaruh sosial (social influence). “social influence occurs whenever our behavior, feelings,or attitudes are altered by what other say or do” begitu definisi baron dan byrne (1979:253). Disini kita akan mengulas tiga macam pengaruh kelompok : konformitas, fasilitasi sosial, polarisasi.
1. Konformitas (conformity)/kesesuaian atau kecocokan
Bila sejumlah orang dalam kelompok mengatakan atau melakukan sesuatu, ada kecenderungan para anggota untuk mengatakan dan melakukan hal yang sama. Kisler dan kiesler (1969), konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan menuju (norma) kelompok sebagai akibat tekanan kelompok_yang real atau yang di bayangkan.
Faktor –faktor yang mempengaruhi konformitas.
Seperti paradigma utama, konformitas adalah produk interaksi antara faktor-faktor situasional dan faktor-faktor personal. Faktor situasional yang menentukan konformitas adalah kejelasan situasi, konteks situasi, cara menyampaikan penilaian, karakteristik sumber pengaruh, ukuran kelompok, dan tingkat kesepakatan kelompok.
2. fasilitasi sosial
Prestasi individu yang meningkat karena di saksikan kelompok disebut Allport sebagai fasilitasi sosial. Fasilitasi dari kata prancis facile,artinya, mudah menunjukkan kelancaran atau peningkatan kwalitas kerja karena di tonton kelompok. Kelompok mempengaruhi pekerjaan sehingga terasa menjadi lebih, “mudah.”
Energi yang meningkat akan mempertinggi kemungkinan di keluarkanya respon dan dominan. Respon dominan adalah perilaku yang kita kuasai. Bila respon yang dominan itu adalah respon yang benar, terjadi peningkatan prestasi. Bila respon dominan itu adalah espon yang salah, terjadi penurunan prestasi. Untuk pekerjaan yang mudah, respon dominan adalah respon yang benar: kerena itu, peneliti-peneliti terdahulu melihat kelompok mempertinggi kwalitas kerja individu. Untuk menghafal pelajaran baru, respon dominan adalah respon yang salah. Karena itu, kelompok dapat mengurangi kwalitas kerja individu.
3. polarisasi ( pertentangan atau perlawanan)
Polarisasi menurut sebagian para ahli_boleh jadi disebabkan pada proporsi argumentasi yang menyokong sikap atau tindakan tertentu, bila proporsi terbesar mendukung sikap konservatif, keputusan kelompok pun akan lebih konservatif dan begitu sebaliknya (Ebbesen dan Bowers, 1974).
Polarisasi mengadung beberapa implikasi yang negatif. Pertama, kecenderungan ke arah ekstremisme menyebabkan peserta komunikasi menjadi lebih jauh dari dunia nyata; karena itu, makin besar peluang bagi mereka untuk berbuat kesalahan. Dan produktivitas kelompok tentu menurun. Kedua, polarisasi akan mendorong ekstremisme dalam kelompok gerakan sosial atau politik. Kelompok seperti ini biasanya menarik anggota-anggotanya yang memiliki pandangan yang sama. Krtika mereka berdiskusi, pandangan yang sama ini makin di pertegas sehingga mereka makin yakin akan kebenaranya. Keyakinan ini di susul dengan merasa benar sendiri (self_righteousness) dan meyalahkan kelompok lain. Proses yang sama terjadi pada kelompok saingan nya. Terjadilah polarisasi yang menakutkan di antara berbagai kelompok dan di dalam masing-masing kelompok (Myers dan Bishop, 1970)
Teori percakapan kelompok
Teori percakapan kelompok sangat berkaitan erat dengan produktivitas kelompok atau upaya-upaya untuk mencapainya melalui pemeriksaan masukan dari anggota (member inputs), variabel-variabel yang perantara (mediating variables), dan keluaran dari kelompok (group output).
Masukan atau input yang berasal dari anggota kelompok dapat diidentifikasikan sebagai perilaku, interaksi dan harapan-harapan (expectations) yang bersifat individual. Sedangkan variabel-variabel perantara merujuk pada struktur formal dan struktur peran dari kelompok sperti status, norma, dan tujuan-tujuan kelompok. Yang dimaksud dengan keluaran atau output kelompok adalah pencapaian atau prestasi dari tugas atau tujuan kelompok.
Produktivitas dari suatu kelompok dapat dijelaskan melalui konsekuensi perilaku, interaksi dan harapan-harapan melalui struktur kelompok. Perilaku, interaksi, dan harapan-harapan (input variables) mengarah pada struktur formal struktur formal dan striktur peran (mediating variables) yang sebaliknya variabel ini mengarah pada produktivitas, semangat, dan keterpaduan (group echievement).
Teori kepribadian kelompok
Teori kepribadian kelompok merupakan studi mengenai interaksi kelompok pada basis dimensi kelompok dan dinamika kepribadian. Dimensi kelompok merujuk pada ciri-ciri populasi atau karakteristik individu seperti umur, kecendikiawanan (intelligence); sementara ciri-ciri kepribadian atau efek yang memungkinkan kelompok bertindak sebagai satu keseluruhan, merujuk pada peran-peran spesifik, klik, dan posisi status. Dinamika kepribadian diukur oleh apa yang disebut dengan synergy, yaitu tingkat atau derajat energi dari setiap individu yang dibawa dalam kelompok untuk digunakan dalam melaksanakan tujuan-tujuan kelompok . Banyak dari synergy atau energi kelompok yang harus dicurahkan ke arah pemeliharaan keselarasan dan keterpaduan kelompok.
Konsep kunci dari teori ini adalah synergy. Synergy kelompok adalah jumlah input energi dari anggota kelompok. Selain synergy kelompok, kita mengenal pula ‘effective synergy’, yaitu energi kelompok yang tersisa setelah dikurangi energi intrinsik atau synergy pemeliharaan kelompok. Energi intrinsik dapat menjadi produktif, sejauh energi tersebut dapat membawa ke arah keterpaduan kelompok, namun nergi intrinsik tidak dapat memberikan kontribusi langsung untuk penyelesaian tugas.
Synergy suatu kelompok dihasilkan dari sikap anggotanya terhadap kelompok. Sampai batas mana para anggota memiliki sikap yang berbeda terhadap kelompok dan kegiatannya, maka yang muncul kemudian adalah konflik, sehingga akan meningkatkan proporsi energi yang dibutuhkan untuk memelihara atau mempertahankan kelangsungan kelompok. Jadi, jika individu-individu semakin memiliki kesamaan sikap, maka akan semakin berkurang pula kebutuhan akan energi intrinsik, sehingga effective synergy menjadi semakin besar.

KESIMPULAN

Ketika kita berbicara pada masalah komunikasi kelompok, perlu kita ketahui apa yang dimaksud dengan kelompok? Kelompok adalah sejumlah orang yang mempunyai ikatan secara psikologis dan mempunyai pikiran yang sama. Walaupun orang itu berada pada tempat yang berbeda, orang yang mempunyai ikatan tersebut tetap dapat dikatakan kelompok.
Dengan hubungannya dengan komunikasi kelompok, kelompok dapat kita kategorikan dalam empat kategori:
1. primer-sekunder
2. in-group dan out-group
3. rujukan-keanggotaan
4. deskriptif dan preskriptif
Agar kita mudah dalam membedakan dalam komunikasi kelompok, komunikasi kelompok dapat kita bagi menjadi dua, yaitu:
1. Komunikasi kelompok besar
2. Komunikasi kelompok kecil
Prinsip dari komunikasi kelompok adalah persamaan ide dan gagasan dari seluruh anggota kelompok komunikasi. Komunikasi pada kelompok dapat dipengaruhi dari beberapa faktor antara lain:
1. Konformitas (Conformity) / kecocokan dan kesesuaian
2. Fasilitas sosial (social facility)
3. Polarisasi